Selasa, 05 Agustus 2008

Kunci Sukses Ala H Mustofa Marhaji

Butuh Modal Ratusan Juta dan Jujur

Bagi H Mustofa Marhaji, modal ratusan juta yang dibutuhkan tidak akan diperoleh tanpa kejujuran. Untuk memenuhi kebutuhan modal, dia harus meminjam uang kepada konglomerat di lingkungannya. Meski harus berhadapan dengan resiko rugi, dia bertekad memertahankan kejujurannya.

---------

MODAL pertama dari dulu sampai sekarang yang saya punya cuma jujur. Jadi, banyak teman, banyak kolega, banyak orang percaya karena saya tidak pernah ingkar janji. Kalimat itulah yang menjadi kunci sukses H Mustofa selama menggeluti usaha berdagang besi tua.

Menurutnya, untung rugi dalam usaha merupakan hal biasa. Jika dilakukan sungguh-sungguh, semua usaha akan mendatangkan keuntungan. Meski rugi secara finansial, yang terpenting semangat untuk kembali berusaha terus tumbuh. Sehingga, kerugian yang ditanggung akan menjadi pelajaran agar tidak terulang kembali.

"Saya ini bukan tidak pernah rugi, Mas. Dulu pernah rugi puluhan juta saat saya scraping (memotong, Red) kapal selam," ungkapnya. Padahal, lanjut Mustofa, uang yang dijadikan modal membeli kapal selam didapatkan dari hasil pinjaman.

Meski menanggung kerugian, dia tetap membayar hutangnya sesuai dengan waktu perjanjian. "Untung atau rugi, hutang harus tetap dibayar," tandasnya. Sejak menerapkan kejujuran dalam usahanya, dia mengaku tak pernah mengalami kegagalan keuangan teramat parah.

Kini, untuk urusan usahanya, dia dibantu dua anaknya. Putra pertama membantu mengawasi proses pemotongan kapal. Sementara, urusan keuangan dia dibantu putrinya, Lilik Mustofa yang telah menyandang gelar sarjana hukum.

Disamping itu, Mustofa juga mendirikan kantor di Sepanjang, Sidoarjo. "Kantor di Sepanjang itu untuk transaksi besar. Baik dengan pabrik maupun penjualan ukuran besar," jelasnya.

Dia mengungkapkan, dalam kesehariannya dia memang keras menghadapi orang lain menjadi mitra bisnisnya. "Saya memang agak kasar sama orang. Tapi, itulah saya yang tampil apa adanya. Saya memang bodoh dan buta huruf, tapi untuk urusan ini (besi tua, Red) saya banyak pengalaman. Jadi harus tegas," tutur ketua ASPEBI ini. (nra/tra)



H Mustofa Marhaji, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Besi Tua Indonesia (ASPEBI)
Awalnya Makelar, Kini Juragan Besi Tua

KEBERHASILAN di tanah rantau tidak bisa dicapai hanya bermodal nekat. Sebab, keberhasilan tidak datang sendiri tanpa interaksi dan kerjasama dengan orang lain. Hubungan baik akan selalu terjaga jika antar individu yang bekerjasama tidak saling mengelabui.

Hal tersebut disampaikan H Mustofa. Nama tersebut oleh masyarakat sekitar rumah diberi tambahan Marhaji. Menurut si empunya, pemberian tambahan nama oleh masyarakat tersebut bermaksud untuk membedakan antara H Mustofa Imron yang tempat tinggalnya tak jauh darinya.

Selama ini, Mustofa dikenal sebagai pribadi jujur di kalangan pengusaha besi tua. Demikian juga kalangan konglomerat Surabaya sebagai pemilik modal besar yang kerap menjadi jujugan meminjam modal.

Sehingga, tidak heran jika Mustofa kini menjadi juragan besi tua dipercaya menjadi Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Besi Tua Indonesia (ASPEBI) hingga sekarang. Selain itu, dia salahsatu pengusaha besi tua yang diberi kepercayaan menjadi supplier di beberapa pabrik besi Indonesia.

Ketika wartawan koran ini mewawancarai, Mustofa sedang asyik bercengkrama dengan beberapa warga di sebelah rumahnya. Karena belum mengetahui kedatangan koran ini, dia terus ngobrol dan memanggil penjual kue keliling. Dia beli, lalu memersilahkan kawan-kawannya menikmati kue-kue itu.

Masuk ke kediamannya di Jalan Sidorame 30 Surabaya, terlihat beberapa mobil kinclong dan beberapa motor di parkir rapi. Salah seorang putrinya, Lilik Mustofa memersilahkan masuk dan duduk di ruangan tempat Musatafa biasa menerima tamu.

"Tunggu sebentar, Mas. Sebentar lagi bapak pasti datang. Dia sedang keliling ke tetangga," katanya. Tak lama menunggu, pria yang dilahirkan di kecamatan Modung, Bangkalan ini datang. Diapun antusias menceritakan pengalamannya sejak berdomisili di Sidorame.

"Waktu itu umur saya masih 16 tahun. Karena orang tua tidak punya biaya untuk menyekolahkan saya, ahirnya saya putuskan pindah ke Surabaya. Modalnya nekat," ungkapnya.

Karena tempat tinggalnya di Modung, terpaksa menyeberang laut dari pelabuhan nelayan di Kwanyar. Menumpang perahu layar milik salahseorang nelayan, Mustofa muda sampai di Kenjeran Surabaya. "Untuk sampai ke darat, saya harus berjalan beberapa ratus meter dengan air laut setinggi dada," kenangnya.

Ketika menapakkan kakinya di Kenjeran, Mustofa berjalan beberapa kilometer untuk sampai di kampung Sidorame. Di situ dia tidak memiliki sanak keluarga atau seseorang yang dikenal. Dia hanya tahu bahwa di Sidorame adalah tempat berkumpulnya para pendatang dari Madura dan hidup berdagang.

"Saya tidur di mushala sekitar sini. Waktu itu sekitar tahun 1968," tuturnya. Mustofapun mulai berkenalan dengan pendatang dari Madura. Kemudian dia bergabung menjadi salahsatu makelar besi dan kuningan.

Selain itu, dia rajin mengumpulkan besi-besi ringan. Seperti kaleng bekas dan sisa-sisa besi potongan kapal. Setelah terkumpul, dia menjualnya kepada pembeli besar di sekitar dia gubuknya.

Dua tahun berusaha dan hidup di Surabaya, Mustofa menemukan jodoh asal Madura. Kegigihan usaha pasangan dari Madura ini membuat usahanya semakin pesat. "Pada 1979 , saya dan istri bisa punya rumah dan pergi haji," ujarnya bangga.

Usai menunaikan ibadah haji, rejeki yang datang kepada keluarga muda ini terus mengalir. Memasuki 1982, Mustofa mendapatkan tawaran membeli kapal besar. Itu menjadi pengalaman pertama memotong kapal untuk dijual besi tuanya. "Waktu itu saya pinjam modal. Alhamdulillah, hasilnya bisa untuk menambah tabungan," tandasnya.

Dari pengalaman pertama, Mustofa mulai memelajari siapa dan bagaimana orang yang menjalin kerja sama dengannya. Yang selalu dia tekankan adalah kejujuran dalam berbisnis. Meski rugi, utang tetap harus dibayar sesuai perjanjian. Sekali janji meleset, sampai kapanpun sulit memeroleh kembali kepercayaan yang diberikan orang lain. (nra/tra)


Lembaga Pertembakauan Harga Mati

Lembaga Pertembakauan Harga Mati
Tembakau Madura Terbesar di Indonesia

PAMEKASAN-Untuk melindungi dan menstabilkan harga dan kualitas tembakau Madura, perlu adanya lembaga urusan tembakau. Sebab, selain termasuk kualitas semioriental, areal dan produksi tembakau di Madura merupakan yang terbesar di Indonesia.

Pernyataan ini disampaikan pakar sosial ekonomi (sosek) pertanian Indonesia Prof Kabul Santoso. Itu dikatakan Kabul saat menjadi pemateri diskusi "Prediksi dan Prospek Ekonomi Tembakau Madura" di Pendapa Ronggosukowati kemarin pagi.

Menurut dia, dengan adanya lembaga pertembakauan di Pamekasan, kualitas dan petani bisa dilindungi dari permainan harga. Baik permainan harga oleh tengkulak maupun perusahaan.

"Pemerintah daerah (Pamekasan) harus segera merumuskan lembaga tersebut. Kalau di Jember dibentuk komisi urusan tembakau. Intinya, dengan adanya lembaga itu mampu memrotek sekaligus memroyeksikan tembakau Madura. Baik kualitas dan harga yang stabil," terangnya.

Selain membentuk lembaga pertembakauan, pemkab harus punya roadmap minimal 10 tahun ke depan. Fungsinya, selain soal perencanaan, dengan roadmap itu bisa menyerap pengembalian cukai tembakau dari pemerintah pusat.

Disebutkan, berdasarkan, Undang Undang No. 39/2007 tentang Tataniaga Perdagangan, 2 persen dari hasil cukai tembakau nasional dikembalikan ke daerah penghasil tembakau. Sedangkan pendapatan cukai rokok nasional sebesar Rp 45 triliun.

Di Indonesia, ada 11 provinsi penghasil tembakau. Namun, dari 11 provinsi itu tidak semuanya mendapat pengembalian 2 persen cukai dari pemerintah. Hanya lima provinsi yang mendapatkannya. Yakni, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Barat, dan Jogjakarta. "Khusus di Pamekasan, pengembalian cukai sekitar Rp 4 miliar lebih," ungkap Kabul.

Untuk itu, sebagai salah satu daerah penerima terbesar pengembalian cukai tembakau Indonesia, Pemkab Pamekasan harus menyiapkan roadmap dan lembaga pertembakauan. "Kalau tidak ada rancangan mengenai pertembakauan di Pamekasan baik teknis maupun pengelolaannya, dana miliaran itu tidak mungkin bisa terserap oleh petani," ujarnya.

Berdasarkan data, ungkap Kabul, Pamekasan merupakan penghasil tembakau terbesar di Indonesia. Dari sekitar 106.524 hektare areal tembakau di Jawa Timur, Madura mencapai 53 hektare. Sedangkan areal tembakau Indonesia sekitar 221.800 hektare.

Areal tembakau di Pamekasan jauh lebih luas dibandingkan wilayah lainnya penghasil tembakau di Jawa Timur. Seperti Paiton hanya 9.167 hektare dan Jember 14.000 hektare.

"Jawa Timur merupakan penghasil tembakau terbesar Indonesia. Sedangkan terbesar di Jawa Timur adalah Madura. Artinya, Madura yang terbesar se Indonesia," tandasnya.

Kabul juga menyinggung soal kualitas tembakau Madura. Menurut dia, kulitas tembakau Madura masuk semioriental yang sangat dibutuhkan pabrik rokok. Termasuk perusahaan rokok dunia.

"Kualitas semioriental bernikotin rendah sangat dibutuhkan pabrik rokok dunia. Sedangkan kualitas tembakau oriental hanya terdapat di Turki yang merupakan negara tandus," terangnya.

Untuk meningkatkan kualitas tembakau, harus ada kesinambungan antara petani, pemerintah, dan pedagang. "Petani pengelolanya. Pemerintah menyediakan regulasinya (lembaga dan roadmap). Sedangkan pedagang harus menjalin kemitraan. Sehingga, tidak hanya petani yang jadi korban," katanya.

Sementara itu, Bupati Kholurrahman berjanji akan melakukan langkah yang terbaik demi petani tembakau. Baik mengenai regulasinya maupun teknis pengelolaan di lapangan.

"Salah satunya adanya revisi Perda Tata Niaga Tembakau yang lebih berpihak kepada rakyat. Yang jelas, ke depan kami selalu berusaha melayani kepentingan petani tembakau," tegasnya. (nam/mat)

Kamis, 31 Juli 2008

Perilaku Kepemimpinan Kolektif di Pondok Pesantren Moderen Al-Amien Prenduan Sumenep

Oleh: Atiqullah, S.Ag., M.Pd.

Abstrak: Kepemimpinan kharismatik selama ini sebenarnya bersandar kepada keyakinan dan pandangan bahwa kyai yang memimpin di pondok pesantren itu didasarkan pada kepada kualitas luar biasa yang bersifat teologis, hal ini untuk mengidentifikasi daya tarik pribadi kyai sebagai pemimpin kekuasaannya berasal dari Tuhan. Sedangkan fenomena kepemimpinan secara kolektif bersandar pada pembagian peran, tugas dan kekuasaan secara bersama, sehingga lahirnya kepemimpinan kolektif di pondok pesantrenpun diasumsi sebagai usaha bersama untuk mengisi jabatan baru karena tuntutan masyarakat yang semakin spesifik dan moderen.

Kata Kunci: kepemimpinan, perilaku kepemimpinan kolektif, Dewan
Riasah, Pondok pesantren al-Amien

Pendahuluan

Sebuah organisasi dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan manajerial, haruslah berusaha secara eksternal dalam merangsang dan mendorong para personelnya, selain juga berusaha secara internal dengan menciptakan organisasi yang menarik sehingga mampu melahirkan perilaku (culture) tertentu sesuai dengan yang diharapkan (Gross & Etzioni 1985: 109). Dalam hal ini pesantren sebagai sistem sosial pendidikan telah menempatkan posisinya sederajat dengan lembaga sosial lainnya, yang memiliki budaya, iklim, model organisasi, dan struktur kepemimpinan yang khas guna mencapai tujuan yang telah dibangunnya secara efektif.

Ada lima unsur ekologis sehingga (layak) dikatakan sebagai pondok pesantren yaitu: kyai, masjid, asrama, santri dan kitab kuning. Ini merupakan karakteristik-fisik yang membedakan dengan lembaga sosial pendidikan di luar pondok pesantren. Unsur-unsur tersebut berfungsi sebagai sarana dan prasarana pendidikan dalam membentuk perilaku sosial budaya di pesantren. Kyai, dalam komunitasnya merupakan unsur yang menempati posisi sentral; sebagai pemilik, pengelola, pengajar kitab kuning, dan sekaligus sebagai pemimpin (imam) dalam setiap ritual sosial keagamaan dan pendidikan. Sedangkan unsur lainnya merupakan subsider dibawah pengawasan kyai.

Paradigma tradisional tentang relasi kyai dan santri sebagai komunitas yang dinamis membentuk subkultur yang terbangun secara eksklusif, fanatisme dan esoteris sebagai upaya dalam menjaga tradisi-keagamaan dari pengaruh dunia luar. Hal ini bisa dilihat pada penelitian. bahwa, peran kyai sebagai cultural agent, yang berfungsi menyampaikan informasi-informasi baru dari luar lingkungan yang dianggap baik dan membuang (mengeliminasi) informasi yang dianggap kurang baik atau menyesatkan komunitas pesantren.

Kyai dalam tradisi pondok pesantren tetap merupakan figur (murabby, pengasuh, pembimbing dan pendidik) bahkan sebagai kekuatan moral (moral force) dan ditaati oleh para santri, asatidz (para guru), pengurus dan beberapa pembantu (staf) dalam menyelesaikan tugas-tugas organisasi pendidikan dikalangan pondok pesantren. Ke-figur-an kyai sangatlah tergantung kepada ketinggian ilmu (keulamaan) dan wibawanya. Sepanjang abad ke-19 dan awal abad ke-20 M., bermunculan kyai -kyai sebagai pemimpin besar (akbar) seperti para hadratu al-syaikh; KH. Kholil Bangkalan (1819-1925), KH Hasyim Asy’ari (1871-1947) Tebu Ireng Jombang, merupakan Bapak spiritual NU dan KH. Achmad Dahlan pendiri organisasi Muhammadiyah dan masih banyak lagi para kyai (sosiologis) dan sebagai ulama’ (ideologis) yang mempunyai pengaruh dan peranan dalam kehidupan sosial masyarakat pada bidangnya masing-masing.

Menurut Mosca (dalam Soekamto, 1984) pada setiap masyarakat tentulah terdapat sekolompok orang yang terpilih dan memiliki kelebihan-kelebihan tertentu yang seringkali disebut dengan pemimpin, sedangkan kebanyakan orang dalam masyarakat itu disebut yang dipimpin.

Istilah pemimpin adalah orang yang mempunyai kemampuan (power) dan kewenangan (authority) untuk mengarahkan dan memberdayakan potensi dalam komunitas manusia yang dipimpinnya sehingga tercapai tujuan-tujuan yang dicita-citakan bersama. Dengan kata lain, pemimpin dalam struktur sosial berfungsi sebagai pengatur dan pengawas agar tujuan kolektif bisa tercapai, yang selanjutnya power and authority ini menurut Hoy dan Miskel (2001) dinyatakan sebagai kemampuan untuk membuat orang lain melakukan apa yang pemimpin kehendaki, sebagaimana pula didefinisikan Weber (1974: 152) bahwa kemungkinan dimana seorang aktor yang berada dalam sebuah jabatan tertentu pada sebuah hubungan sosial bisa memenagkan apa yang ia kehendaki walaupun dengan cara melawan. Sedangkan authority masih menurut Hoy dan Miskel adalah pegangan-pegangan dalam penundaan bagian-bagian kritisnya untuk memilih di antara berbagai alternatif dan menggunakan kriteria formal dalam penerimaan sebuah perintah atau tanda-tanda perintah sebagai basis pilihannya. Weber (1974) secara tegas menunjukkan bahwa wewenang (authority) tidak mencakup setiap model penggunaan wewenang itu sendiri, melainkan sebuah tingkatan ketaatan sukarela tertentu yang berhubungan dengan komando-komando formal.

Berdasarkan pendapat di atas, ada tiga hal yang harus menjadi satu kesatuan pembahasan menyangkut sosok kyai atau ulama’ ini sebagai pemimpin yaitu: leadership (kepemimpinan), power (kekuasaan), dan authority (kewenangan).

Soetopo mendefinisikan kepemimpinan sebagai kemampuan atau kesiapan yang dimiliki seseorang untuk dapat mempengaruhi, mendorong, mengajak, menuntut dan menggerakkan atau kalau perlu memaksa orang lain agar menerima pengaruh itu dan selanjutnya berbuat sesuatu yang dapat membantu pencapaian suatu maksud atau tujuan tertentu.

Pondok pesantren al-Amien dalam penelitian ini merupakan pondok pesantren yang telah mengalami perubahan pada-aspek-aspeknya, dari lembaga sosial pendidikan tradisional (ma’had salafiyah) kepada sistem sosial pendidikan moderen (khalaf khalafiyah), baik secara ekologis (bangunan fisik, sarana dan fasilitas pendidikan), milieu (dimensi lingkungan sosial pesantren), sistem (struktur organisasi, peran dan perilaku kepemimpinan serta manajemen pesantren), maupun culture (nilai-nilai, ideologi, paradigma dan karakter pesantren) membentuk 'iklim' pendidikan yang kondusif dan dinamis bercirikan khas keagamaan.

Sebagai indikator, bisa dilihat dari respon masyarakat memasukkan para putra-putrinya ke pondok pesantren, peran-peran budaya yang tercerminkan dari pergumulan pesantren, pelayanan sektor-sektor sosial yang dilakukan, prestasi santri di beberapa event nasional, maupun internasional, alumni tersebar dibeberapa instansi, maupun di beberapa perguruan tinggi agama, maupun umum terkemuka di dalam maupun di luar negeri, beberapa karya tulis dari para pengasuh, pengelola, ustadz, dan para santri, maupun alumni membuktikan bahwa para pemimpin di pesantren ini mampu membangun budaya dan iklim akademik yang baik sebagai bagian dari lembaga pendidikan yang bercirikan khas keislaman.

Pondok pesantren al-Amien Prenduan Sumenep menganut kepemimpinan yang terorganisir dalam institusi Dewan Riasah. Lembaga ini dibentuk dalam rangka merespon perubahan, perkembangan dan kemajuan yang di capai Al-Amien sebagai karunia yang harus dipertahankan dan dikembangkan secara optimal dan berkesinambungan sepanjang masa.

Pada tanggal 11 April 2006 lembaga ini daftarkan untuk berbadan hukum dan berdiri secara otonom. Sebagai badan tertinggi di pesantren ini, Dewan Ria’sah berfungsi sebagai 'Nadhir' dari seluruh wakaf dan/atau asset kekayaan pondok peantren al-Amien. Dewan Riaasah pondok pesantren al-Amien terdiri dari ketua, wakil, sekretaris, wakil sekretaris, bendahara dan wakil bendahara, dengan formasi sebagai berikut: KH. Muhammad Tidjani Djauhari, MA (sebagai ketua sekaligus sebagai pengasuh), KH. Muhammad Idris Djauhari (sebagai wakil), KH. Maktum Djauhari, MA (sebagai sekretaris sekaligus Rektor IDIA), KH. Asy’ari Kafie (sebagai bendahara sekaligus pengasuh Pondok Putri I), KH. Muhammad Khairi Husni, S.Pd.I (sebagai wakil bendahara sekaligus Pengasuh TMI Al-Amien Prenduan Sumenep), KH. Muhammad Zainullah Rois, Lc. (sebagai wakil sekretaris sekaligus Pengasuh MTA al-Amien Prenduan Sumenep).

Dalam pelaksanaan tugas-tugasnya Dewan Riasah dibantu sepenuhnya oleh beberapa kyai muda/yunior yang disebut 'Majli A’wan', dan beberapa Nyai yang disebut Majlis Pengasuh Putri (MPPi), serta beberapa orang guru Pondok Pesantren yang disebut 'Pelaksana Harian'. (lebih detail secara struktur organisasi bisa dilihat dalam lampiran proposal ini).

Penelitian Terdahulu Kepemimpinan Pondok Pesantren

Dari beberapa penelitian terdahulu diatas, ada beberapa aspek yang diungkap dari kepemimpinan dalam pondok pesantren, yaitu pergeseran gaya dan pola kepemimpinan , pola generasi, kepemimpinan legal formal, sumber kewenangan kepemimpinan, ketokohan kyai sebagai pemimpin ,dan keefektifan kepemimpinan dalam perspektif sistem nilai keagamaan,

Dari hasil penelitian terdahulu ini, kiranya peneliti cukup berpeluang mengembangkan profil kepemimpinan pondok pesantren yang di motivasi oleh peran "lembaga kekyaian" dalam konteks al-Amien terkoordinasi dalam Dewan Riasah, sebagai lembaga kepengasuhan, kependidikan dan lembaga panutan dalam memotivasi, mengembangkan tradisi atau iklim organisasi akademik pondok pesantren, yang selama ini terasa kurang menarik diteliti oleh ilmuwan, padahal dalam konteks pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan, tradisi ini cukup menantang untuk diteliti dengan beberapa alasan tentunya.

Pertama, pondok pesantren sebagai lembaga akademik mulya (noble academic institute) yang tidak hanya mengembangkan aspek keilmuan keagamaan (islam) saja, tetapi sebagai pusat pengembangan (center of development) keilmuan secara umum sebagai bagian dari kesadaran internal kalangan pondok pesantren dan kesadaran masyarakat secara umum akan ilmu pengetahuan yang integratif.

Kedua, pondok pesantren sebagai lembaga mulya (noble institute) haruslah merubah diri secara lebih visioner dalam segala aspek, sehingga mampu mengembangkan missinya mengentaskan sosial masyarakatnya dari keterbelakangan dan krisis multi dimensional dengan kajian dan perencanaan yang lebih filosofis, ideologis, inklusif dan pada saatnya akan tercipta tradisi, relasi demokratis dan iklim akademik yang kondusif.

Ketiga adalah perilaku para pemimpin pondok pesantren sangatlah beragam dan memiliki karakteristik yang unik dalam arti sering mengalami ekstrimisme dari perilaku-perilaku yang kurang bisa difahami secara konsisten bagi kalangan di luar pondok pesantren.

Fokus dan Tujuan Penelitian

Fokus utama penelitian ini adalah profil kepemimpinan di pondok pesantren moderen al-Amien yang dijabarkan dalam sub fokus berikut.
  • Kepemimpinan di pondok pesantren al-Amien Prenduan, meliputi: model kepemimpinan, tugas dan fungsi.

  • Ghirah kepemimpinan di pondok pesantren al-Amien Prenduan, meliputi: tujuan kepemimpinan dan faktor yang berpengaruh dan

  • Perilaku kepemimpinan, dalam pengambilan keputusan, penyelesaian konflik, dan pembangunan tim.

Penelitian ini ingin menampilkan profil kepemimpinan di al-Amien Prenduan. Lebih jauh penilitian ini bertujuan untuk: mendeskripsikan model, tugas dan fungsi kepemimpinan di pondok pesantren al-Amien Prenduan, memahami ghirah dari kepemimpinan dan faktor yang berpengaruh di pondok pesantren al-Amien Prenduan, serta, menemukan perilaku kepemimpinan refresentatif dalam pengambilan keputusan, penyelesaian konflik, dan pembangunan tim di pondok pesantren al-Amien Prenduan.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan dengan pendekatan kualitatif berjenis studi kasus. Dalam menggali data peneliti banyak menggunakan wawancara mendalam dengan para kyai fungsionaris Dewan Riasah yang merupakan lembaga kekyaian di pondok pesantren moderen al-Amien, serta dari para ustadz, pengurus harian- majlis a’wan, para santri dan para kiai yang lain, disamping juga melalui observasi partisipan. Data-data tersebut kemudian dianalisis secara interaktif.

Kepemimpinan Pondok Pesantren Masa Depan

Kepemimpinan pondok pesantren masa depan, hendaknya juga mempertimbangkan demensi-demensi keefektivan dalam mengukur keberhasilan sebagai kecenrungan dari kepemimpinan kontemporer. Gaya kepemimpinan yang spiritualis (spiritual leadership) adalah jawaban bagi pondok pesantren yang mendasarkan gaya kepemimpinannya pada nilai-nilai ke-Tuhan-an, sehingga dapat menciptakan pondok pesantren (noble institute) efektif. Standar keefektifan ini diukur dalam tiga hal: budaya organisasi yang kondusif, proses organisasi yang efektif dan inovasi dalam organisasi.

Keefektivan organisasi dan kepemimpinan dalam teori Ouchi (1981) bahwa, bukan strategi, struktur dan sistem yang lebih banyak menentukan keberhasilan organisasi, melainkan budaya organisasi, hanya saja perbedaan antara konsep kepemimpinan spiritual dengan teori Z Ouchi adalah kalau Ouchi teorinya terletak pada sumber nilai budaya yang diderivasi dari paradigma nilai-nilai budaya yang dimaksud, sedangkan kepemimpinan spiritual, nilai-nilai budaya diderivasi dari nilai-nilai spiritual etis religious yang berasal dari nilai dan tindakan etis Tuhan terhadap hamba-Nya. Karena dalam pandangan agama, manusia lahir dengan membawa fitrah (naluri) dan sibghah (blue print) tentang keberadaan Tuhan dalam dirinya, karena itu budaya yang dimaksud dalam konteks kepemimpinan spiritual ini adalah pengungkapan iman dalam kehidupan sehari-hari dan refresentasi Tuhan dalam organisasi.

Abdurrahman Wahid (Horikosi, 1987: xvii) menyebutkan bahwa di balik kebekuan lembaga-lembaga keagamaan, seringkali didapati kemampuan para pemimpinnya untuk merumuskan ajaran-ajaran baru yang membawa kepada perubahan dalam kehidupan masyarakat.

Demikian juga para pemimpin pesantren dengan peran-peran ideologi yang dianutnya, tercetus sebuah perubahan-perubahan yang mendasar, karena para pemimpin pesantren sebenarnya sadar dengan sebuah qaidah fiqhiyah yang berbunyi 'al-muhafadlatu ala al-qadimi al-shalih, wal akhdzu bi al-jadid al-aslah'.

Berdasarkan beberapa kearifan para pemimpin dalam memahami kepemimpinan yang didasarkan pada ideologi dan dimensi ke-Tuhan-an dimunkinkan mengembangkan iklim dan budaya pondok pesantren yang lebih efektif dalam pembangunan budaya akademik yaitu kepemimpinan pesantren yang mampu berperan sebagai seorang tokoh pembaharuan, ruhaniawan, relawan dan voluntir yang pandai menarik simpati masyarakatnya, oleh karena itu pesantren sebagai sismtem sosial pendidikan adalah noble institute yang memiliki dimensi organisasi profit, sosial dan dakwah. Sehingga pondok pesantren dengan figur kyai (ulama’), sangatlah potensial memainkan peran dan perilaku kepemimpinan berbasis nilai-nilai ke-Tuhan-an ini (baca: Ulama’ adalah pewaris para Nabi-al-Ulama’u Waratsatu al-An-biya’).

Kepemimpinan Pondok Pesantren al-Amien Prenduan Sumenep Madura
  1. Model Kepemimpinan Kolektif
    Pondok pesantren al-Amien Prenduan yang didirikan pada tahun 1952 oleh (almarhum) KH. Ahmad Djauhari Chotib, mengalami perkembangan yang sangat pesat dan representatif di kalangan pondok pesantren secara nasional maupun internasional. Pada saat ini pondok pesantren al-Amien merupakan kepemimpinan generasi kedua sejak sepeninggal (almarhum) pendiri pertama itu al-Amien masih bernama pondok pesantren Tegal dan saat ini masih terpelihara sebagai bagian dari pondok pesantren al-Amien secara keseluruhan.

    Menyadari akan tanggung jawab para putra penerusnya, kemudian pondok pesantren ini dipimpin bersama oleh KH. Tidjani Djauhari, MA., KH. Idris .Djauhari, KH. Maktum Djauhari, KH. Asy’ari Kafie, KH. Muhammad Khairi Husni, S.Pd.I, dan KH. Muhammad Zainullah Rois, Lc.

    Para tiga kyai di depan merupakan kyai nasab keturunan langsung (almarhum) KH. Ahmad Djauhari Chotib, satu setelahnya adalah kyai nasab sepupu dan dua dari terakhir adalah kyai di luar nasab yang direkrut atas nama yayasan sebagai pimpinan di lingkungan pondok pesantren al-Amien yang kemudian membentuk wadah bernama Dewan Riasah Pondok Pesantren al-Amien Prenduan yang selanjutnya disingkat DR-PPAP resmi berbadan hukum sejak hari Selasa tanggal 12 Rabiul Awal 1427 H bertepatan tanggal 11 April 2006.

    Dewan Riasah sebagai organisasi formal kekyai an dilingkungan pondok pesantren al-Amien Prenduan didistribusi dengan mekanisme kerja yang jelas terarah atas dasar hubungan kekeluargaan dan kepesantrenan memiliki tiujuan umum menjunjung tinggi dan mengamalkan nilai-nilai dan ajaran-ajaran agama Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadist, membentuk karakter/kepribadian ummat yang beriman sempurna, berilmu luas, dan beramal sejati serta memiliki kesadaran untuk beramal sholeh bagi kepentingan agama, nusa dan bangsa (AD. ART. DR-PPAP).

    Dewan Riaasah merupakan organisasi yang mewadahi kepemimpinan dilingkungan al-Amien Prenduan secara kolektif. Kolektivitas kepemimpinan di al-Amien ini merupakan bentuk kemajuan dari model kepemimpinan pondok pesantren secara umum. Di al-Amien ini para kyai rata-rata berasal dari kyai kerabat dan sebagian pula dari kyai dari luar kerabat yang dituakan karena ilmu pengetahuan yang dimiliki serta loyalitas pada al-Amien. Hal ini diakui oleh KH. Khoiri Husni, S.Pd.I bahwa dirinya bukanlah kerabat, tapi mengapa akhirnya beliau dipercaya di al-Amien.

    Dimasa sekarang ini memang kepemimpinan partisipatif sangatlah dibutuhkan sebagai upaya modernisasi kepemimpinan masa depan pesantren, karena selama ini dengan model kepemimpinan yang terbatas pelaksanaannya dilapangan terasa sangat sulit seiring dengan konfleksitas persoalan yang dihadapi pesantren, yang pada gilirannya akan mengganggu proses keberlangsungan eksistensi pesantren, terutama sepeninggal si kyai. Oleh karena itu dimasa mendatang dibutuhkan kepemimpinan yang lebih terarah pada pembagian tugas, kekuasaan, hak dan wewenang yang jelas.

    Temuan dari kepemimpinan kolektif di al-Amien dimungkinkan pembagian tugas, kekuasaan, hak, dan wewenang itu karena kepemimpinan yang baik adalah kepemimpinan yang secara situasional dapat memenuhi segala yang dibutuhkan oleh komunitas lembaga, dimana suatu saat seorang pemimpin harus bersikap otoriter, delegatif, instruktif dan partisipatif. Pada saat seorang manajer membangun suatu ide inovatif dan kemudian mensosialisasikan menjadi program dibutuhkan sebuah kekuasaan (power) dan kewenagan (authority) sebagai sebuah mainstream. emikian juga pada saat tertentu harus delegatif sesuai dengan kewenagan dan kemampuan pimpinan itu, pada saat ini sangat sulit kiranya menemukan sosok pimpinan yang sempurna (baca: kepemimpinan Nabi saw), sehingga melalui kepemimpinan kolektif inilah semua kekuatan akan terpenuhi dari karakter dan kepribadian masing-masing anggota pemimpin.

    Ciri dari kepemimpinan kolektif di al-Amien ini adalah sistem musyawarah seiap selasa pagi antara anggota Dewan Riasah yang dihadiri minimal 5 orang anggota, senin sore musyawarah pengurus-pengurus unit yang dihadiri seluruh unit pendidikan dan lembaga dilingkungan al-Amien ditambah sebagain pengurus Dewan Riasah.


  2. Tugas dan Fungsi Dewan Ria’sah
    Kepemimpinan di al-Amien mencerminkan pola kepemimpinan yang partisipatori, yang dipengaruhi oleh tugas dan fungsi Dewan Riasah yang seringkali mengalami kendala terutama disaat pondok pesantren mengalami masa keemasan terus tiada penerus yang lebih mempuni dari generasi sebelumnya. Istilah dari para pimpinan di al-Amien adalah keberlangsungan dan kontinuitas-nya amma ba’du-nya [tindak lanjutnya di masa-masa mendatang] bagaimana mereka belajar, dari keyakinan yang sudah ada, dari konsep-konsep yang sudah mereka terima, semacam mainstream, termasuk hambatan, bagaimana seorang pimpinan menjabarkan sebuah tradisi dan program menjadi sebuah kerja-kerja profesional, itu diperlukan bimbingan lanjutan, ketergantungan karena kesungkanan yang lebih besar.

    Tugas dan fungsi Dewan Riasah mempunyai tiga fungsi: pertama sebagai lembaga tertinggi dilingkungan al-Amien, dalam proses pengambil kebijakan tertinggi di pondok pesantren dan seluruh lembaga-lembaga yang ada di al-Amien melalui Dewan Riasah , kedua sebagai nadzir wakaf yang bertanggung jawab terhadap aset-aset pondok pesantren al-Amien dan ketiga tugas dan fungsi sebagai pendiri dan pembinan.

Ghirah Kepemimpinan di Pondok Pesantren al-Amien Prenduan

  1. Tujuan Kepemipminan Kolektif
    Tujuan dibentuknya Dewan Riasah sebagai lembaga kekyai an dalam kepemimpinan kolektif di al-Amien adalah:
    • Kepemimpinan pondok pesantren di masa-masa mendatang membutuhkan dukungan dari berbagai pihak mengingat kompleks persoalan yang dihadapi pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan alternatif.

    • Menghindari tindakan dan perilaku otoriter dari kalangan pimpinan pondok pesantren, dimana selama ini pondok pesantren dikenal dengan kepemimpinan yang otokrasi yang tidak melibatkan orang banyak nan pada gilirannya menghambat keberlangsungan eksistensi pondok pesantren.

    • Mencari kemaslahatan kebijakan sehingga unsur-unsur pimpinan yang lain bisa duduk bermusyawarah dalam menemukan ide-ide dan keputusan-keputusan yang mempunyai kekuatan legal formal.

    • Merencanakan program dan mensosialisasikan sesuai dengan kapasitas wewenang dari masing-masing pimpinan keseluruh lapisan unit-unit tingkat bawah.

    • Kebersamaan karena lingkungan secara umum mengehendaki kebersamaan itu sehingga apabila menghadapi berbagai problematik senantiasa dipecahkan bersama terutama disaat pimpinan yang kurang mampu [kompeten] sehingga pondok pesantren dinamis, tidak kaku, penuh dengan progran inovasi [perubahan] dan relevan dengan dunia global.


  2. Faktor yang Berpengaruh

    Perilaku pendukung dari para kepemimpinan kolektif (Dewan Riasah ) di lingkungan pondok pesantren al-Amien dalam kelangsungan kepemimpinan kolektif ini sangat dipengaruhi beberapa faktor. Faktor-faktor ini merupakan maziah dan keistimewaan tersendiri yang dapat memberikan nuasa beragam perilaku kepemimpinan di al-Amien. Secara umum dari hasil temuan penelitian, para kyai di al-Amien memiliki komitmen yang tinggi terhadap pengelolaan lembaga, secara khusus mereka memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing antara lain:
    • Faktor Kepribadian Kyai.
      Karakter dan kepribadian kyai di al-Amien sangat beragam, ada kyai yang mempunyai karakter inovator dan inisiator seperti sosok KH. Tidjani Djauhari, MA secara operasional tidak terlalu banyak kedalam, namun beliau fokus pada urusan (relasi) keluar, pondok, daerah, dalam negeri, dan bahkan luar negeri, beliau sangat piawai dalam berkomunikasi dengan lemaga-lembaga diluar al-Amien, dengan kata lain Kyai Tijani itu khusus pada syiar al Amien.
      Sementara KH. Idris Djauhari lebih menekankan pada inovasi dan inisisi program di dalam pondok, terutama program penkaderan dan kepemimpinan, bagaimana pembinaan dan cara-cara kepemimpinan, baik bagi santri maupun pada staf-taf dan ustadz-ustadz di al-Amien, hal ini bisa dilihat dari performance kepribadian dalam kepemimpinan beliau begitu tinggi sebagai orang kerja. Satu hal sebagai kepiaian dari kyai ini adalah kedekatan dengan masyarakat sekitar pondok pesantren al-Amien, termasuk kegiatan-kegiatan kemsayarakatan kecil, untuk masyarakat elit beliau merasa bahwa sudah ada kyai Tidjani.
      Kemudian sosok kyai Maktum Djauhari memang bergelud dengan dunia ilmu dan akademisi, sehingga yang berurusan dengan keilmuan beliau yang menangani, terutama bidang aqidah, filsafat dan tasawwuf, diketahui beliau adalah Guru Master bidang Aqidah Islamiyah. Kepiawaian dalam bidang keilmuan ini beliau diserahi tanggung jawab sebagai Rektor Ma’had ‘Aly dan IDIA [Institus Dirasah Islamiyah Al-Amien]. Sementara keterbatasan dari masing masing kyai diatas adalah kyai Tidjani lebih pasrah kepada bawahan, kurang seselektif, termasuk dalam penerapan sanksi kyai Tidjani ibarat perilaku sayyidina Abu Bakar ra, artinya beliau lebih independen, demokratis lebih memasrahkan, bahkan cenderung agak laisser, tetapi pada hal-hal yang krusial beliau juga kadang-kadang bersikap tegas.
      Pada penerepan hukum beliau banyak mengambil hukum-hukum ala Nabi Muhammad swa banyak toleransi dsb. Sedangkan kyai Idris sangat selektif lebih agressif dan pendobrak, diistilahkan oleh kalangan santri ibarat Sayyiina Umar ra, dengan penerapan hukum Daut-nya. Sementara kyai Maktum ini lebih pleksible, dan terkadang banyak diam apabila ada yang kurang disukai, namun demikian karakter kedua kakanya diatas tercermin dari sosok kyai Maktum ini.
      Sedangkan kyai Asy’ari Kafie lebih banyak diam dan mengikuti segala keputusan yang ada, demikian juga kyai Khoiri Husni dan kyai Zainullah Rois, Lc yang banyak manut kepada kebijakan-kebijakan yang ada, hal ini terbukti saat peneliti mengamati persidangan tigkat Dewan Riasah , mereka bertiga lebih banyak passif, apa karena kepatuhannya terhadap para kyai nasab yang secara psikologis dibatasi oleh kebiasaan dan kecanggungan sebagai santri alumni.

    • Faktor Pendidikan Kyai
      Kyai di al-Amien adalah rata-rata alumni Gontor, bahkan semua putra-putri kyai disana wajib pernah mondok di Gontor. Kyai Tidjani latar belakang pendidikannya di pondok pesantren Gontor, hingga mempersunting putra kyai Gontor, KH. Zarkasyi, kemudian melanjutkan ke Madinah (S1 dan S2), sedangkan kyai Idris pendidikannya hanya di Gontor saja setelah dari Gontor beliau melanjutkan ke IAIN Sunan Ampel di Pamekasan, dan kyai Maktum, pendidikannya di Gontor, Madinah dan kemudian S2 di Mesir. Kyai Zainullah Rois, Lc di Ummul Quro Mekkah, kyai Asy’ari Kafie alumni pondok pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggi hingga jenjang S2 di IAI-Nurul Jadid dan KH. Khoiri Husni adalah alumni pertama TMI al-Amien Prenduan. Berdasarkan latar belakang pendidikan ini sangatlah mempengaruhi dalam peran-peran kepemimpinan di al-Amien, baik secara intelektual, maupun relasi dan nilai-nilai kritis terhadap pengembangan al-Amien.

    • Faktor Pengalaman organisasi Kyai
      Pengalaman di masa pendidikan sangatlah berpengaruh dalam pembentukan, pribadi dan kepemimpinan. Kyai Tidjani sewaktu masih di Timur Tengah itu, pernah menjadi dewan penasehat Robitoh Alam Islami, Kalau Kyai Maktum ini berpengalaman bergaul dengan mahasiswa luar Indonesia di Madinah dan di Mesir sehingga kesan budaya yang berbeda dari dirinya sebagai orang Indonesia memungkinkan memahami makna budaya dan etnis masyarakat lainnya sehingga sikapnya yang lebih pluralis dan toleran tercermin dari perilakunya setiap hari dalam mengurusi mahasantri dan mahasiswa. Kyai Idrikirim khusus dalam perintisan al-Amien.
      Demikian juga para kyai lainnya seperti kyai Khoiri Husni, kyai Zainullah Rois, dan kyai Asy’ari Kafie, mereka paling tidak memiliki pengalaman organisasi yang memungkinkan terbawa pada suasana perilaku Dewan Riasah . Oleh karena itu temuan dari pengalaman organisasi ini sangat mempengaruhi dalam berdemokrasi dan keterbukaan.


Perilaku kepemimpinan Kolektif dalam pengambilan keputusan, penyelesaian konflik, dan pembangunan tim di pondok pesantren al-Amien Prenduan
  1. Pengambilan Keputusan
    Pengambilan keputusan di pondok pesantren al-Amien senantiasa dilakukan dengan musyawarah mufakat dari jajaran level santri, organisasi santri, guru, pengurus, hingga pada level atas Majlis A’wan dan Dewna Riasah.
    Dewan Riasah sangat fungsional sebagai pimpinan dan pengasuh, maupun sebagai manajer yayasan. Sementara secara pribadi sebagai figur kekuatan moral (moralforce). Dalam proses pengangkatan kyai di Dewan Riasah juga memerlukan pertimbangan yang matang dan proses seleksi, dengan syarat-syarat tertentu seperti punya penghasilan sendiri, tidak sampai menggantungkan hidupnya pada pondok.
    Demikian juga dalam proses pengambilan keputusan dalam perencanaan pendanaan pondok melalui proses dan musyawarah. Para kyai di al-Amien tidak memegang keuangan pondok, tetapi kyai harus tahu kemana keluar dan masuknya dana, kyai cukup menerima laporannya saja dari bendahara pencatat keuangan. setiap tanggal 27 Masehi seluruh unit pondok, termasuk pelaporan kepada kepada badan pengawas keuangan masing-masing, disamping itu para kyai sebagai pimpinan menyetujui saja sehingga semua urusan mudah, resiko kecil dan pelaporannya juga gampang, karena setiap pengeluaran telah disepakati bersama dari tiga bagian, yaitu
    1. pihak yang mengeluarkan pihak bendahara,

    2. yang menerima pihak yang mengajukan dan

    3. yang menyetujui pihak pimpinan yayasan / pondok.


    Dari hasil temuan, al-Amien kyai secara personal terbatasi kewewenangan (outhority) yang diatur dalam norma-norma dasar Dewan Ri’asah, sehingga kebijakan dan kekuasaan (power) tidak terpusat kepada satu figur kyai , melainkan ada dalam kepemimpinan kolektif di Dewan Riasah sehingga segala kebijakan berasal dari bawah atas pertimbangkan manfaat, modlorot dan mafsadat nya oleh para pimpinan dan kemudian menjadi kebijakan para pimpinan di al-Amien.

    Keterlibatan para komunitas di pondok pesantren al-Amien terutama keterlibatan emosional memperkaya kebijakan yang diambil, keterlibatan itu juga dimaksudkan sebagai bentuk sosialisasi awal, agar setiap personal memahami dengan jelas tugas dan tanggung jawabnya dan kebijakan yang diambil bersama mengikat untuk semua pihak ambil bagian berada dalam kebijakannya sendiri.

    Contoh pengambilan keputusan yang partisipatif yang dilakukan Dewan Riasah adalah enam orang dari anggota Dewan Riasah bermusawarah dalam ketentuannya minimal dihadiri lima orang, kemudian sekretaris yayasan menyiapkan agenda dulu, kemudian kita tentukan masalah apa, proses pengambilan keputusannya, dengan Bismillah dari hasil musyawarah berijtihad memutuskan dan disosialisasikan.

    Oleh karena itu keputusan akhir (kalam akhir di pimpinan kolektif) yang sebelumnya telah melalui proses melalui sosialisasi dari bawah, sehingga dari hasil temuan dial-Amien tidak ditemukan keputusan otoriter, atau keputusan per individu.


  2. Penyelesaian Konflik dan Pembangunan Tim
    Dalam menyelesaikan konflik-konflik dan perbedaan pandangan atau perilaku agresi dari para santri, pondok pesantren al-Amien menyerahkan kepada komunitas atau unit-unitnya secara otonomi, karena secara normatif telah di atur dalam aturan norma yang berlaku melalui majlis mahkamah masing-masing unit kecuali ada persoalan krusial yang menyangkut nama baik al-Amien yang harus ditangani oleh Dewa Riasah, melalui proses penyelesaian dan pada keputusan akhir pada penyelesaian tajdidul bai’at (memperbaiki perjanjian semula).

    Kasus menyangkut guru pun al-Amien tidak segan memberikan sanksi dan penyelesaian hingga pada proses akhir tajdidul bai’at, bahkan pada kasus pemecatan, hal ini karena kompensasi atau kesejahteraan yang diberikan kepada guru cukup memadahi ditambah pasilitas kesejahteraan lainnya berupa pendidikan putra-putranya gratis, serta ketersediaan perumahan bagi sebagian guru.

    Ada tradisi yang menarik dari penyelesaian konflik di al-Amien, para mahkamah mengumumkan (i’lan), tentang santri yang kasus atau berkonflik setiap sebelum sholat fardu ashar dan isya’, sehingga saat sholat berjemaah selesai mereka dipanggil dan diadili di rangen Al-Kautsar melalui mahkamah masing-masing, baik mahkamah bahasa, masjid, syariah, akhlaq, mahkamah disiplin, dan mahkamah lingkungan, sedangkan sanksinya bersifat edukatif, keceuali mereka yang kasus pelanggaran berat diberhentikan dengan hormat, seperti pulang tampa minta ijin pengurus. Sedangkan pelanggaran bahasa adalah karena tidak menggunakan bahasa asing sesuai areal dan dan waktu yang telah menjadi ketentuan.

    Pondok pesantren al-Amien dalam pembangunan soliditas tim dari kepemimpinan bersama ini menjaga komunikasi yang aktif dan terbuka dikalangan pengurus sehingga tidak ada miskomunikasi, karena menurut para pimpinan disana kekompakan itu memang sangat tergantung komunikasi, sering tidak kompak itu hanya karena miskomunikasi, tapi begitu ada penjelasan dari pihak yang tidak dikompaki.
    Kedua melalui manajemen konflik sehingga konflik menjadi kekuatan.
    Ketiga pelibatan peran Nyai atau istri [kyai] dari Dewan Riasah. Pada saat-saat tertentu para istri kyai ini manggil pihak-pihak terkait diberi pengarahan dan penyadaran oleh beliau sehingga para Nyai disini sebagai manager sangat besar peranannya.dalam membangun kekompakan


Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian secara mendalam tentang profil model dan perilaku kepemimpinan yang peneliti lakukan di al-Amien dapat diambil beberapa kesimpulan berikut:

Pertama: Pondok Pesantren al-Amien menganut kepemimpinan secara kolektif, dimana konteks kepemimpinan kolektif dalam perspektif al-Amien adalah kepemimpinan yang dilakukan secara berkelompok dalam suatu wadah Dewan Riasah dengan pembagian tugas yang jelas, peran dan wewenag yang telah diatur dengan tujuan yang mulya yaitu menjunjung tinggi dan mengamalkan nilai-nilai dan ajaran-ajaran agama Islam dari sumbernya (al-Qur’an dan al-Hadist), membentuk karakter/kepribadian santri yang beriman sempurna, berilmu luas, dan beramal sejati serta memiliki kesadaran untuk beramal sholeh bagi kepentingan agama, nusa dan bangsa.

Kedua, ada tiga tugas dan fungsi dari Dewan Riasah:

Pertama Sebagai lembaga tertinggi dilingkungan al-Amien, dalam proses pengambil kebijakan tertinggi di pondok pesantren dan seluruh lembaga-lembaga yang ada di al-Amien

Kedua Sebagai nadzir wakaf yang bertanggung jawab terhadap aset-aset pondok pesantren al-Amien

Ketiga Tugas dan fungsi sebagai pendiri dan pembina, menyangkut kepengasuhan, pendidikan dan panutan (uswah hasanah)

Ketiga kepemimpinan kolektif dalam konteks Dewan Riasah di pondok pesantren al-Amien ini mempunyai tujuan yang jelas karena beberapa hal, kepemimpinan pondok pesantren di masa-masa mendatang membutuhkan dukungan dari berbagai pihak mengingat kompleks persoalan yang dihadapi pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan alternatif, menghindari tindakan dan perilaku otoriter dari kalangan pimpinan pondok pesantren, dimana selama ini pondok pesantren dikenal dengan kepemimpinan yang otokrasi yang tidak melibatkan orang banyak. Dan pada gilirannya menghambat keberlangsungan eksistensi pondok pesantren, mencari kemaslahatan kebijakan sehingga unsur-unsur pimpinan yang lain bisa duduk bermusyawarah dalam menemukan ide-ide dan keputusan-keputusan yang mempunyai kekuatan legal formal.

Merencanakan program dan mensosialisasikan sesuai dengan kapasitas wewenang dari masing-masing pimpinan keseluruh lapisan unit-unit tingkat bawah dan kebersamaan karena lingkungan secara umum mengehendaki kebersamaan itu sehingga apabila menghadapi berbagai problematik senantiasa dipecahkan bersama terutama disaat pimpinan yang kurang mampu [kompeten] sehingga pondok pesantren dinamis, tidak kaku, penuh dengan progran inovasi [perubahan] dan relevan dengan dunia global.

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pemimpin dalam kepemimpinan kolektif di pondok pesantren al-Amien adalah kepribadian dan karakter mulya kyai (maziah), latar belakang pendidikan kyai, dan faktor pengalaman organisasi kyai.

Dalam pengambilan keputusan di pondok pesantren al-Amien senantiasa dilakukan dengan musyawarah mufakat dari jajaran level santri, organisasi santri, guru, pengurus, hingga pada level atas Majlis A’wan dan Dewna Riasah. Kyai tetap sebagai figur kekuatan moral (moral force) dalam menupang segala keputusan dan keputusan akhir (kalam akhir) tetap pada hasil musyawarah Dewan Riasah yang sebelumnya telah melalui proses melalui sosialisasi dari bawah, sehingga dari hasil temuan di al-Amien tidak ditemukan keputusan otoriter, atau keputusan per individu.

Penyelesaian konflik di pondok pesantren al-Amien diserahkan kepada majlis mahkamah masing-masing lembaga kecuali ada persoalan krusial yang menyangkut nama baik al-Amien yang harus ditangani oleh Dewa Riasah, melalui proses penyelesaian dan pada keputusan akhir pada penyelesaian tajdidul bai’at (memperbaiki perjanjian semula) atau sampai pada batas skorsing.

Tradisi penyelesaian konflik di al-Amien yang menyangkut santri melalui mengumumkan (i’lan), dan pada setiap setelah sholat fardu ashar dan isya’, ada pemanggilan dan diadili di Rangen Al-Kautsar melalui mahkamah masing-masing, baik mahkamah bahasa, masjid, syariah, akhlaq, mahkamah disiplin, dan mahkamah lingkungan.

Dalam pembangunan tim para pimpinan di al-Amien Prenduan adalah dengan menjaga komunikasi yang aktif dan terbuka dikalangan pengurus sehingga tidak ada miskomunikasi, karena para pimpinan di al-Amien yakin bahwa kekompakan sangatlah tergantung dari komunikasi yang baik, serta melalui upaya yang dilakukan adalah; pertama melalui manajemen konflik sehingga konflik menjadi kekuatan, kedua pelibatan peran Nyai atau istri [kyai] dari Dewan Riasah. Melalui pengarahan dan penyadaran akan tanggung jawab sebagai santri, pengurus, asatidzah dan pemimpin.

Rekomendasi

Perilaku kepemimpinan kolektif di Pondok Pesantren al-Amien, kiranya mengilhami pola-pola kepemimpinan pondok pesantren yang selama ini dipimpin secara tradisional dan kompensional. Pembagian kewenagan dan kuasa, serta tugas dan fungsi kepemimpinan akan semakin jelas dan terarah, karena menurut peneliti problem yang akan diahadapi pondok pesantren dimasa-masa mendatang semakin tinggi dan kompleks, sehingga representasi kepemimpinan kolektif semakin mungkin untuk modalitas perilaku kepemimpinan yang situasional, hal ini dapat difahami dari krisis kepemimpinan pondok pesantren saat ini, yang mengalami prokhialisme dan kebuntuan-kebuntuan berdemokrasi, ditambah lagi dengan problem sosial yang membutuhkan pelayanan yang lebih partisipatoris dan akuntable.

Pilihan al-Amien dalam memposisikan para kyai nasab maupun di luar nasab sangat tepat dimasa-masa ini sehingga dalam menentukan kebijakan, penyelesaian komflik dan pembangunan teamnya akan semakin memperkuat posisi al-Amien sebagai bagian dari pondok pesantren moderen yang dikelola dengan manajemen dan kepemimpinan situasional moderen.

Hal-hal yang perlu kiranya semakin mendapat perhatian semua kalangan, khususnya cendikia yang respek terdahap keberadaan dan pengembangan pesantren dimasa-masa mendatang adalah relasi kyai dengan masyarakat serta stakeholders sebagai bagian yang tidak bisa dipisahkan, sehingga pondok pesantren betul-betul mampu bersama-sama menjawab dan menyelesaikan problem yang dihadapi masyarakat santri.

Daftar Rujukan

  1. A’la, Abd, Pembaruan Pesantren (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006).

  2. Al-Amien, Warkat-Jurnal Informasi Tahunan Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Dewan Redaksi (Sumenep: Al-Amien Printing, 2006).

  3. Amin, Masyhur, Dinamika Islam: Sejarah Transformasi dan Kebangkitan Ulma, (Yogyakarta: LKPSM, 1995)

  4. Anderson, Carolyn S. The Search for School Climate, (Review of Education Research, 1982)

  5. Arifin, Imron, Penelitian Kualitatif Dalam Ilmu-Ilmu Sosial dan Keagamaa, (Malang: Kalimasahada, 1996)

  6. Asrohah, Hanun, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu1999)

  7. Atiqullah, Reorientasi Sistem Pendidikan Pondok Pesantren; Dari Sistem Pendidikan Khalaf kepada Sistem Pendidikan Khalaf (Tesis, Tidak diterbitkan, 2004).

  8. Atiqullah, Pengantar Psikologi Agama, (Pamekasan: STAIN Press, 2006)
    Barton, Greg, Gagasan Islam Liberal di Indonesia (Jakarta: Paramadina/Pustaka Antara, 1999)

  9. Bawani, Imam, Segi-segi Pendidikan Islam. (Surabaya: Al-Ikhlas, 1987)

  10. Bogdan, Robert C. & Biklen, Sari Knopp. Qualitative Research in Education, an Introduction Theory and Methods (USA: Library of Congress Cataloging-in-Publication Date, 1998).

  11. Creswell, John W. Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches, (USA: Library of Congress Cataloging-in-Publication Date, 1994)

  12. Dhofier, Zumakhsyari, Tradisi Pesantren : Studi Tentang Pandangan Hidup Kya, (Jakarta: LP3ES, 1994)

  13. Dirdjosanjoto, Pradjarta, Memelihara Umat : Kyai Pesantren-Kyai langgar di Jawa, (Yogyakarta: LKiS, 1999).

  14. Eksan, Moh,. Kyai Kelana:Biografi Kyai Muchid Muzadi, (Yogyakarta: LKIS, 2000)
    Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: LKIK, 1998)

  15. Horikoshi, Hiroko, 1976. A Traditional Leader in a Time of Change : The Kijaji and Ulama in West Java, The University of Illinois at Urbana-Chapaign, USA Terjemahan Umar Basalim dan Andi Muarly Sunrawa, Kyai dan Perubahan Sosial (jakarta: LP3ES, 1987).

  16. Hoy, K. Wayne & Miskel, G. Cecil,. Educational Administration, Theory, Research and Practice, (Singapore: McGraw-Hill, 2001)

  17. Ibrahim, Suhandi, Idi dan Dedi Djamaludin Malik, Hegemoni Budaya (Yogyakarta, Yayasan Bentang Budaya, 1997)

  18. Johnson, C. Merle (ed), Handbook af Organizational Performance (Jakarta: Pt. RajaGrafindo Persada, tampa tahun)

  19. Kamisa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesi (Surabaya: Kartika, 1997)

  20. Kartodirjo, Sartono, Kepemimpinan Dalam Dimensi Sosial, Jakarta: LP3ES, 1984)

  21. Komariah, Aan dan Triatna, Cepi, Visionary Leadership, Menuju Sekolah efektif (Jakarta: Pt. Bumi Aksara, 2005)

  22. Liliweri, Alo,. Sosiologi Organisasi (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1997)
    Maarif., Syafi’i. Islam: Kekuatan Doktrin dan Keagamaan Umat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997)

  23. Maksum, Sejarah dan Perkembangannya (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999)

  24. Mantja, Willem, Profesionalisme Tenaga Kependidikan: Manajemen Pendidikan dan Supervisi Pengajaran (Malang: Elang Mas, 2007)

  25. Mas’ud, Abdurrahman,. Dari Haramain Ke Nusantara : Jejak Intelektual Arsitek Pesantren (Jakarta: Penerbit Kencana Prenada media Group, 2006)

  26. Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren (Jakarta: INIS, 1994)

  27. Mastuhu. Meberdayakan Sistem Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999)

  28. Miles, Matthew B., dan Huberman, A. Michael. Qualitative Data Analysis, Terjemahan oleh Tjetjep Rohendi Rohidi (Jakarta: UI-Press, 1992)

  29. Moh. Kosim, dkk, Pondok Pesantren di Pamekasan (Pertumbuhan dan Perkembangannya) (Pamekasan: P3M STAIN Pamekasan, 2003)

  30. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remadja Rosda Karya, 2004)

  31. Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Serasin, 1996)

  32. Munandar, A.S, dkk, Peran Budaya Organisasi dalam Unjuk Kerja Perusahaan, (Jakarta: Bagian Psikologi Industri dan Organisasi, Fak. Psikologi UI, 2004)

  33. Munir Mulkhan, Abdul, Rekonstruksi Pendidikan dan Tradisional Pesantren: Religiusitas IPTEK (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998)

  34. Nata, Abuddin, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000)

  35. Ndraha, Taliiduha, Budaya Organisasi (Jakarta: Renika Cipta, 2003)

  36. Ouchi, William, Theory Z: How American Business Can Meet the Japaness, (Addison-Wesley, 1981)

  37. Owens, Robert G, Organzational Behavior in School (The United States of America, 1987)

  38. Pidarta, Made, Landasan Kependidikan (Jakarta: Renika Cipta, 1997)

  39. Rahardjo, M. Dawam, Pesantren dan Pembaharuan (Jakarta: LP3ES, 1995)

  40. Ramdhani, Ali, dan Suryadi, Kadarsah, Sistem Pendukung Keputusan: Suatu Wacana Struktural Idealisasi dan Implementasi Konsep Pengambilan Keputusan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1998)

  41. Rivai, Veithzal, Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi (Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 2003)

  42. Robbins, Stephen P. Organizational Behavior (Jakarta: Terjemahan oleh Tim Indeks, Gramedia, 2003)

  43. Soekanto, Soerjono, Beberapa Teori SosiologiTentang Struktur Masyarakat (Jakarta: Penerbit Radar Jaya Ofsett, 1984)

  44. Soekanto, Soerjono,. Sosiologi, Suatu Pengantar (Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 2002)

  45. Soetopo, Hidayat, Kepemimpanan dan Supervisi Pendidikan (Surabaya: Bina Aksara,. 1982)

  46. Sonhaji, A., Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, Makalah Seminar Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif (Malang: PPS IKIP Malang, 1977)

  47. Stanbrink, Kareel A., Pesantren, Madrasah dan Sekolah: Pendidikan Islam Dalam kurun Moder (Jakarta: LP3ES, 1994)

  48. Suaidi, Ahmad,. Pergulatan Pesantren dan Demokratisasi (Jakarta: LKiS dan P3M, 2000)

  49. Suhandijah, Pengembangan dan Inovasi Kuriukulum (Jakarta: Raja Grafindo, 1993

  50. Sukamto,. Kepemimpinan Kiai dalam Pesantren (Jakarta: LP3ES, 1999)

  51. Syaifuddin, AM. et. al., Desekularisasi Pemikiran; Landasan Islamisasi (Bandung: Penerbit Mizan, 1993)

  52. Tagiuri, Renato. Organizational Climate; Exploration of a Concept (Boston: Harvard University, 1968)

  53. Thoha, Miftah, Perilaku Organisasi, Konsep Dasar dan Aplikasinya (Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 1996)

  54. Universitas Negeri Malang. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. (Malang:. Departemen Pendidikan Nasional 2000)

  55. Usman, Husaini, Manajemen, Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan (Jakarta: Pt. Bumi Aksara, 2006)

  56. Yukl, Gary A.,. Leadership in Organizations. Terjemahan oleh Yusuf Udaya. (Jakarta:. Prenhallindo, 1994)

  57. Zaini, Wahid A., Dunia Pemikiran Kaum Santri (Yogyakarta: LK PSM NU DTY, 1994)
  58. Zarkasyi, Imam, Merintis Pesantren Modern (Ponorogo: Gontor Press, 1996)

  59. Zuhairini dkk. Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1997)

Sejarah Sampang

Sesudah seluruh Mataram dikuasai oleh Sultan Agung, maka Cakraningrat I dipercayai memimpin pulau ini dengan berkeraton di Sampang tetapi ia sering tidak ada di Sampang karena oleh Sultan Agung tenaganya Di butuhkan di Mataram.

Pada suatu waktu ia pulang dari Mataram isterinya (Ratu Ibu) menceritakan bahwa ia seperti kedatangan Nabi Hedir, menanyakan apa yang ia cita-citakan lalu ia menjawab bahwa ia ingin ketujuh keturunannya memegang pemerintahan, Cakraningrat I sepertinya ia tidak puas dengan cerita isterinya, mengapa tidak menjawab untuk keturunan seterusnya, Ratu ibu merasa menyesal dan meneruskan tapanya di Air Mata sampai ia meninggal dunia dan dimakam kan ditempat itu pula, Cakraningrat I meninggal dunia di Mataram karena sengketa dengan Pangeran Alit, karena ia menghalang halangi untuk membunuh kakaknya ialah Sunan Amangkurat I.

Cakraningrat II menggantikan ayahnya dan setelah Trunojoyo dikalahkan keratonnya dipindah dari Sampang ke Tonjung. Pada waktu itu Madura pecah menjadi dua ialah Madura Timur dan Madura Barat (lihat pada perang Trunojoyo) setelah Keraton Sampang dipindah ke Tonjung maka yang memerintah di Sampang ialah Raden Ario Purbonagoro putera Cakraningrat II, selanjutnya lagi digantikan oleh puteranya yang bernama Purbonagoro Ganta' yang terahir Sampang dikuasai oleh keturunan Purbonagoro yang lazim disebut Ghung Purba, kuburan Ghung Purba ini masih dianggap kearmat oleh orang-orang Sampang ialah yang terletak di sebelah selatan Perumahn Pegadaian Sampang.

Selanjutnya Sampang dipimpin oleh Raden Ario Mlojokusumo seorang keturunan dari Bangkalan, sesudah itu Madura langsung diperintahkan oleh pemerintah Hindia Belanda dan yang ditunjuk sebagai Bupati Sampang ialah Raden Ario Kusumadiningrat (tahun 1885). Setelah Kusumodiningrat meninggal dunia diganti oleh Raden Tumenggung Ario Condronegoro. Setelah Bpati Condronegoro meninggal dunia diganti oleh Raden Adipati Ario Setyodiningrat dari Bangkalan, pada tahun 1913 ia mengundurkan diri dan diganti oleh raden Adipati Ario Cakraningrat. Yang menggantikannya di Sampang ialah Raden Tumenggung Kartoamiprojo, kemudian dipindah menjadi Bupati Pamekasan dengan gelar Adipati Ario Kartoamijoyo. Disampang diganti oleh Raden Ario Sosro Winoto.

Pada Tahun 1931 setelah ia mengundurkan diri dengan pensiun, lalu Sampang dirubah statusnya hanya sebagai Kawedanan saja. Pada tahun 1949 pemerintahan Madura Samoang dijadikan Kabupaten lagi dengan Raden Tumenggung Mohammad Eksan dan diangkat sebagai bupatinya lagi. Setelah muhammad Eksan mengundurkan diri dengan hak pensiun maka Raden Soeharjo ditunjuk sebagai gantinya.

Sebagai pelaksana UU Pokok No.1 Tahun 1957, maka K.H. Achmad Zaini dipilih sebagaiKepala Daerah Tingkat II Sampang sampai UU itu dibekukan dan diganti dengan Penpres No 6 Tahun 1959 aka dualisme kepemimpinan di daerah dihapus.

Selanjutnya melalui pencalonan DPRD-GR Kabupaten Sampang, maka M. Wali Hadi diangkat sebagai Bupati kepala Daerah Kabupaten Sampang Tahun 1960 sampai Tahun 1965. Setelah Wali hadi Mengundurkan diri, R.S. Hafidz Soeroso B.A dicalonkan sebagai gantinya oleh DPRD-R dan diangkat oleh Pemerintah Pusat untuk memegang jabatan Bupati Kepala Daerah Kabupaten Sampang.
Pada Zaman Majapahit di Sampang ditempatkan seorang Kamituwo yang pangkatnya hanya sebagai patih, jadi boleh dikatakan kepatihan yang berdiri sendiri. Sewaktu Majapahit mulai mundur di Sampang berkuasa Ario Lembu Peteng, Putera Raja Majapahit dengan Puteri Campa, LembuPeteng akhirnya pergi memondok di Ampel dan meninggal disana.

Yang mengganti Kamituwo di Sampang adalah puterayang tertua ialah Ario Menger yang keratonnya tetap di Madekan. Menger berputera 3 orang laki-laki ialah Ario Langgar, Ario Pratikel (ia bertempat tinggal di Pulau Gili Mandangil atau Pulau Kambing) dan Ario Panengah gelar Pulang Jiwo bertempat tinggal di Karangantang.

Pratikel mempunyai anak perempuan yang kawin dengan Ario Pojok dan mempunyai anak bernama Kiyai Demang (Demangan adalah tempat kelahirannya) setelah Demang menjadi dewasa ia sering pergi ke tempat tempat yang dipandang keramat dan bertapa beberapa hari lamanya disana, pada suatu waktu ia sedang tertidur dipertapaannya ia bermimpi supaya ia terus berjalan kearah Barat Daya kedesa Palakaran.

Setelah Demang bangun ia terus pulang dan minta ijin pada orang tuanya untuk memenuhi panggilan dalam mimpinya, ayah dan ibunya sebenarnya keberatan tetapi apa dikata, kehendak anaknya sangat kuat. Menurut cerita Demang terus berjalan kearah Barat Daya diperjalanan ia makan ala kadarnya daun-daun, buah-buahan dan apa saja yang dapat dimakan, dan kalau malam ia tertidur dihutan dimana ia dapat berteduh.

Pada suatu waktu ketika ia berhenti melepaskan lelah tiba-tiba datang seorang perempuan tua memberikan bingkisan dari daun-daun, setelah bingkisan dibuka terdapatlah 40 buah bunga nagasari, diamana ada Pohon Nagasari? Perempuan tua itu menjawab bahwa pohon yang dimaksud letaknya didesa Palakaran tidak beberapa jauh dari tempat itu.

Dengan diantar perempuan tua tersebut Demang terus menuju kedesa Palakaran dan diiringi oleh beberapa orang yang bertemu diperjalanan. Sesampainya didesa itu mereka terus beristirahat ditempat pengantarnya sambil menikmati hidangan yang lezat-lezat yang menghidangkan ialah, Nyi Sumekar puteri dari janda itu. Tidak bberapa lam Demang jatuh cinta pada perempuan itu dan mereka kawin, kemudian mereka mendirikan rumah besar, yang kemudian oleh orang-orang disebut keraton kota Anjar (Arosbaya) dari perkawinan Sumekar dan Demang lahirlah beberapa orang anak dengan nama-nama sebagai berikut:
  • Kiyahi Adipati Pranomo

  • Kiyahi Pratolo

  • Kiyahi Pratali

  • Pangeran Panagkan dan

  • Kiyahi Pragalbo.

Pada sauatu saat Demang Palakaran bermimpi bahwa kemudian hari yang akan menggantikan dirinya ialah Kiyahi Pragalbo yang akan menurunkan pemimpin-pemimpin masyarakat yang baik, putera yang tertua Pramono oleh ayahnya disuruh bertempat tinggal di Sampang dan memimpin pemerintah dikota itu. Ia kawin dengan puteri Wonorono di Pamekasan karena itu ia juga menguasai Pamekasan jadi berarti Sampang dan Pamekasan bernaung dalam satu kerajaan, demikian pula sewaktu Nugeroho (Bonorogo) menggantikan ayahnya yang berkeraton di Pamekasan dua daerah itu masih dibawah satu kekuasaan, setelah kekuasaan Bonorogo Sampang terpisah lagi dengan Pamekasan yang masing-masing dikuasai oleh Adipati Pamadekan (Sampang) dan Pamekasan dikuasai oleh Panembahan Ronggo Sukawati, kedua-duanya putera Bonerogo.

Kemudian Sampang diperintah oleh Pangeran Adipati Mertosari ialah cucu dari puteri Pramono putera dari Pangeran Suhra Jamburingin, demikianlah diceritakan bahwa memang menjadi kenyataan Kiyahi Demang banyak menurunkan Raja-Raja di Madura.

Sumber: Sufiku-Sufiqadariyah

MADURA SEBELUM PEMBERONTAKAN TRUNOJOYO

Sewaktu Sultan Agung memimpin menjalankan politik pemerintahan untuk mempersatukan Jawa dan Madura bahkan ingin mempersatukan seluruh Nusantara agar kompeni sukar dapat melebarkan sayapnya. Karena itu Sultan Agung kadang-kadang terpaksa menjalankan politik kekerasan, dalam tahun 1614 Surabaya ditaklukkan demikian pula dengan Pasuruan dan Tuban.
Akhirnya dalam tahun 1424 Madura mendapat giliran, tentara Madura yang berjumlah 2000 orang menghadap pasujan Mataram yang berjumlah 50.000 orang, perjuangan orang madura menunjukan keberanian, laki2 didepan wanita dibelakang kalau ada laki-laki yang mengundurkan diri dari medan perangtrus ditusuk dari belakang tentara mataram dapat ditewaskan sebanyak 6000 orang, tetapi Sultan Agung tidak putus asa orang2 nya yang gugur dimedan perang segara diganti, ahirnya Madura dapat ditaklukan pula, satu satunya keturunan Raja Madura yang hidup ialah Raden Praseno, ia lalu dibawa ke Mataram.
Sesudah Raden Praseno dewasa ia lalu dikawinkan dengan adik Sultan Agung, kemudian pulau madura dipercayakan kepada Raden Praseno dengan gelar Pangeran Cakraningrat I. Ia lebih banyak ada di Mataram dari pada di Madura. Tetapi keadaan di Madura tetap berjalan dengan lancar, Di madura keratonnya ada di Sampang dan ia memmunyai isteri salah seorang keturunan Giri, yang terkenal dengan Ratu Ibu yang meninggal dnia dan dikuburkan di Air Mata Bangkalan. Sampai sekarang kuburan Ratu Ibu dianggap keramat oleh rakyat.
Pangeran Cakraningrat I dengan ratu Ibu mempunyai Anak2 :
1. Raden Undakan, kemudian bergelar Cakraningrat II (disebut Siding Kamal).
2. Raden Ario Atmojodiningrat, yang setelah meninggal dunia dikuburkan di Imogiri
bersama sama ayahnya ialah Pangeran Cakraningrat I, ketika pemberontakan
Pangeran Alit
3. Ratu Maospati.
Dengan isteri-isteri yang lain Pangeran Cakradiningrat I masih mempunyai putera-putera diantaranya pangeran Malujoayah dari Raden Trunojoyo bergelar juga Panembahan Maduratno, setelah Sultan Agung diganti oleh puteranya Amangkurat I keadaan mataram berubah, dahulu Mataram ditakuti oleh kompeni setelah Amangkurat I berkuasa Mataram mengadakan hubungan yang sangat akrab dengan kompeni, didalam pemerintahan Amangkurat I kelihatannya tidak mempunyai kewibawaan, keretakan timbul dimana-mana dan makin lama kerajaan itu suram. Dalam tahun 1646 Mataram mengadakan perjanjian dengan Kompeni yang pada umumnya merugikan pada Mataram, mereka saling berjanji hendak tukar menukar tawanan perang dan tidak akan membantu musuh salah satu pihak, saban tahun kompeni akan mengirim utusan ke Mataram dan mengijinkan orang Jawa berdagang dimana saja kecuali dimaluku.


Dalam tahun 1652 perjanjian itu diperkuat dan ditetapkan bahwa perbatasan antara Mataram dan daera kompeni ialah kali Citarum, terhadap kompeni Amangkurat I menunjukan jiwa yang lemah terhadap rakyatnya bersikap kersa dan mendendam.
Pangeran Alit adiknya sendiri dicurigai dan di perintahkan untuk ditangkap dan dibunuh, Raden Malujo ayah dari Trunojoyo juga mendapat perilaku yang demikian pula pada ahirnya Cakraningrat I, prnasehat utama dan amangkurat menjadi pemersihan yang dilakukan oleh sang Raja, suaratidak senang terhadap amangkurat I makin lama makinterdengar semakin kuat sehingga menjadi cukup matang untuk timbulnya revolusi.
Adipati Anom Putera Amangkurat I ingin menumbangkan pemerintahan ayahnya tetapi ia tidak berani untu memulai, ia meminta bantuan Raden Kayoran tetapi ditolak karena Raden Kajoran sudah berusia lanjut meskipun pada ahirnya ia setuju untuk mengobarkan apai revolusi, setelah Pangeran Cakraningrat I meninggal dunia lalu digantikan dengan puteranya yang bergelar Cakraningrat II, kalau semasa Cakraningrat I memimpin disegani dan dicintai oleh rakyat, tetapi Cakraningrat II sebaliknya ia tidak mendapat simpati dari rakyat karena tindakannya tidak bijaksana.
Dikutip dari :
Buku Selayang Pandang Sejarah Madura
Oleh :
DR. Abdurrahman

Pulau Madura

Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.


Madura
Karapan sapi diSumenep, Madura.
Karapan sapi diSumenep, Madura.
Geografi
Lokasi Asia Tenggara
Koordinat 7°0′ LS 113°20′ BT
Kepulauan Kepulauan Sunda Besar
Wilayah 4,250 km²
Administrasi
Bendera Indonesia Indonesia
Provinsi Jawa Timur
Demografi
Populasi 3.525.000 (2005)
Kepadatan 829/km²/km²
Masyarakat pribumi Madura

Madura adalah nama pulau yang terletak di sebelah timur laut Jawa Timur. Pulau Madura besarnya kurang lebih 5.250 km2 (lebih kecil daripada pulau Bali), dengan penduduk sekitar 4 juta jiwa.

Administrasi

Madura dibagi menjadi empat kabupaten, yaitu:

  1. Bangkalan
  2. Sampang
  3. Pamekasan
  4. Sumenep

Pulau ini termasuk provinsi Jawa Timur dan memiliki nomor kendaraan bermotor sendiri, yaitu "M".

Sejarah

Secara politis, Madura selama berabad-abad telah menjadi subordinat daerah kekuasaan yang berpusat di Jawa. Sekitar tahun 900-1500, pulau ini berada di bawah pengaruh kekuasaan kerajaan Hindu Jawa timur seperti Kediri, Singhasari, dan Majapahit. Di antara tahun 1500 dan 1624, para penguasa Madura pada batas tertentu bergantung pada kerajaan-kerajaan Islam di pantai utara Jawa seperti Demak, Gresik, dan Surabaya. Pada tahun 1624, Madura ditaklukkan oleh Mataram. Sesudah itu, pada paruh pertama abad kedelapan belas Madura berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda (mulai 1882), mula-mula oleh VOC, kemudian oleh pemerintah Hindia-Belanda. Pada saat pembagian provinsi pada tahun 1920-an, Madura menjadi bagian dari provinsi Jawa Timur.[1]

Ekonomi

Secara keseluruhan, Madura termasuk salah satu daerah miskin di provinsi Jawa Timur[2]. Tidak seperti Pulau Jawa, tanah di Madura kurang cukup subur untuk dijadikan tempat pertanian. Kesempatan ekonomi lain yang terbatas telah mengakibatkan pengangguran dan kemiskinan. Faktor-faktor ini telah mengakibatkan emigrasi jangka panjang dari Madura sehingga saat ini banyak masyarakat suku Madura tidak tinggal di Madura. Penduduk Madura termasuk peserta program transmigrasi terbanyak.

Pertanian subsisten (skala kecil untuk bertahan hidup) merupakan kegiatan ekonomi utama. Jagung dan singkong merupakan tanaman budi daya utama dalam pertanian subsisten di Madura, tersebar di banyak lahan kecil. Ternak sapi juga merupakan bagian penting ekonomi pertanian di pulau ini dan memberikan pemasukan tambahan bagi keluarga petani selain penting untuk kegiatan karapan sapi. Perikanan skala kecil juga penting dalam ekonomi subsisten di sana.

Tanaman budi daya yang paling komersial di Madura ialah tembakau. Tanah di pulau ini membantu menjadikan Madura sebagai produsen penting tembakau dan cengkeh bagi industri kretek domestik. Sejak zaman kolonial Belanda, Madura juga telah menjadi penghasil dan pengekspor utama garam.

Bangkalan yang terletak di ujung barat Madura telah mengalami industrialisasi sejak tahun 1980-an. Daerah ini mudah dijangkau dari Surabaya, kota terbesar kedua di Indonesia, dan dengan demikian berperan menjadi daerah suburban bagi para penglaju ke Surabaya, dan sebagai lokasi industri dan layanan yang diperlukan dekat dengan Surabaya. Jembatan Suramadu yang lama direncanakan dan kini sedang dalam tahap pembangunan diharapkan meningkatkan interaksi daerah Bangkalan dengan ekonomi regional.

Budaya

Madura terkenal dengan budaya Karapan sapinya.

tokoh-tokoh


  • Kiai Pragalbo ...-1531. Ayah dari:
  • Kiai Pratanu Panembahan Lemah Duwur 1531-1592. Ayah dari:
  • Pangeran Tengah 1592-1621. Saudara dari:
  • Pangeran Mas 1621-1624
  • Pangeran Praseno Pangéran Tjokro di Ningrat I 1624-1647. Anak dari Tengah and Ayah dari:
  • Pangeran Tjokro di Ningrat II 1647-1707, Panembahan 1705. Ayah dari:
  • Raden Temenggong Sosro di Ningrat Pangeran Tjokro di Ningrat III 1707-1718. Saudara dari:
  • Raden Temenggong Suro di Ningrat Pangeran Tjokro di Ningrat IV 1718-1736. Ayah dari:
  • Raden Adipati Sejo Adi Ningrat I Panembahan Tjokro di Ningrat V 1736-1769. Kakek dari:
  • Raden Adipati Sejo Adi Ningrat II Panembahan Adipati Tjokro di Ningrat VI 1769-1779
  • Panembahan Adipati Tjokro di Ningrat VII 1779-1815, Sultan Bangkalan 1808-1815. Anak dari Tjokro di Ningrat V dan Ayah dari:
  • Tjokro di Ningrat VIII, Sultan Bangkalan 1815-1847. Saudara dari:
  • Panembahan Tjokro di Ningrat IX, Sultan Bangkalan 1847-1862. Ayah dari:
  • Panembahan Tjokro di Ningrat X, Sultan Bangkalan 1862-1882.

(sumber: A.M.H.J. Stokvis, Manuel d’histoire, de généalogie et de chronologie de tous les Etats du globe..., Boekhandel & Antiquariaat B.M. Israël, Leiden 1888-1893, 1966)

Referensi

  1. ^ Van Dijk, K., de Jonge, H. & Touwen-Bouwsma, E., Introduction, di dalam: van Dijk et al. (penyunting), Across Madura Strait: the dynamics of an insular society, Leiden: KITLV Press, 1995, hlm. 1-6.
  2. ^ Rachbini, D.J., Conditions and consequences of industrialization in Madura, di dalam: van Dijk et al. (penyunting), Across Madura Strait: the dynamics of an insular society, Leiden: KITLV Press, 1995, hlm. 209-220.

HYSTORY MADURA

HYSTORY MADURA


The Madurese people preserve a number of myths explaining their origins, among them the story of Raden (Prince) Segoro. It is told that long time ago the Javanese kingdom of Medang Kamulan was ruled by one Prabu Gilingwesi, whose daughter, Dewi Bendoro Gung, became pregnant as the gods had willed. The king, however, became angered and ordered one of his ministers, Patih Pragulang, to kill her.

Obeying the command, Patih Pragulang sailed the princess out to sea on a raft, but at the last moment was unable to carry out the deed. Eventually the raft came to rest on the land which was to be called Madura, which is said to stem from the words ‘Madu’ meaning honey, and ‘oro’, open Country. Dewi Bendoro Gung later gave birth to a handsome boy who was to be called Raden Segoro.
At the age of three the child encountered two sea-serpents which, through the intervention of Empu Polleng (Patih Pragulang disguised) changed their forms and became the pusaka (heirlooms) named Alugoro and Nenggolo.
On becoming an adult, Raden Segoro served the king of Medang Kamolan and on one occasion successfully repelled a Chinese invasion. Returning to Madura he asked his mother about the identity of his father.
Enraged by her son’s question, Dewi Bendoro Gung turned his dwelling place into what is now the forest of Nepa and a haven for monkeys which according to local belief are descended from the soldiers of Raden Segoro. Nepa can be found in the district of Banyuates, 42 km north of Sampang. Another legend recounts the story of Jokotole, son of the Putri (princess) Kuning, who was a grandchild of Pangeran Bukabu of Sumenep. Jokotole and his brother Jokowedi had been conceived by way of a dream encounter between Putri Kuning and their father Adipoday. While journeying to Majapahit to assist his stepfather named Empu Kelleng, Jokotole met with his uncle, Adirasa, who gave him the flying horse Si Mega and a whip, both of which had been entrusted to him by Adipoday. To this day the horse Si Mega continues to live as the Regional Emblem of Sumenep. The whip, too, is one of Madura’s well known souvenirs, and the names Jokotole and Putri Kuning (Madurese “Pottre Koneng’) can be found on the ferry boats which run between Surabaya and the Madurese port of Kamal. Epigraphical evidence helps to reveal the role played by Madura in the general history of Indonesia, as well as the island’s relationship with the ancient rulers of Java. For instance, it is known that during the period of Singosari (1222 - 1292 A.D.), the Regent of Sumenep, one Aria Wiraraja, ruled over the whole of Madura and, together with Raden Wijaya, helped to establish the Javanese kingdom of Majapahit after successfully repelling the punitive force sent to Java by the Chinese Emperor Kublai Khan in 1292 - 1293 A.D. At the beginning of the Islamic period, the new religion was introduced into the Madurese court circle by a crown prince of the kingdom of Palakaran (Arosbaya, Bangkalan) named Pratanu, son of Prince Pragalbo. A century later, during the golden period of Mataram under the leadership of Sultan Agung, a grandson of Pratanu named Raden Praseno was given authority over the whole of Madura, with the title Pangeran Cakraningrat I. His seat of power was at Sampang. He in turn was succeeded by his son Raden undakan, who became Pangeran Cakraningrat II. During this period the recently established Dutch East India Company (VOC) began to exploit Mataram’ s internal political strife, which resulted in the rebellion of Trunojoyo and the forced exile of Cakraningrat II to Lodaya. When the rebellion was finally put down, Cakraningrat II returned to rule over western Madura, with a new seat of power at Tonjung (Bangkalan).
Cakraningrat II was succeeded by his son Cakraningrat III, whose rule was ended abruptly by a rebellion incited by his younger brother R.T. Suroadiningrat, who became Cakraningrat IV. However, because he opposed the Dutch East India Company he was forced into exile in Tanjung Harapan and his son, R.A. Secoadiningrat (Cakraningrat V) took power. The seat of government was moved again at this time to Sembilangan. Cakraningrat V was succeeded by his grandson, Panembahan Adipati Cakraningrat VI, who in turn was succeeded by his uncle, Adipati Cakraningrat VII. Since the time of the setting up of a capital at Arosbaya in 1528, the religion of Islam spread eastward across the island and had a profound effect upon Madurese social and political life.
From that time until today the main historical events can be noted down as follows: 1624 The forces of Mataram under Sultan Agung occupied Madura. 1672 Trunojoyo rebelled and succeeded in ousting Sultan Agung’s forces. 1680 With the help of the Dutch East India Company, Mataram succeeded in re-occupying the eastern part of Madura, with seats of Government at Sumenep and Pamekasan. This part of the island, however, was eventually ceded to the Dutch (VOC). Western Madura (Bangkalan, Sampang) was restored to the descendants of Prince Cakraningrat. For a further two and a half Centuries the Dutch colonial administration increased its hold on Madura This bitter situation turned even worse under the forced labour introduced by the Japanese, who occupied Indonesia in 1942, until the declaration of Independence in 1945.(बी। मी)

ASAL MULA KERAPAN SAPI

ASAL MULA KERAPAN SAPI


Kerapan Sapi adalah permainan adu cepat balapan sapi khas Pulau Madura. Kesenian ini pada mulanya berasal dari Pulau Sapudi, Kabupaten Sumenep atas prakarsa dari Pangeran Katandur pada akhir abad 13.

Awalnya ingin memanfaatkan tenaga memanfaatkan tenaga sapi sebagai pengolah sawah. Brangkat dari ketekunan bagaimana cara membajak sapinya bekerja ,mengolah tanah persawahan, ternyata berhasil dan tanah tandus pun berubah menjadi tanah subur.

Melihat gagasan bagus dan membawa hasil positif, tentu saja warga masyarakat desa mengikuti jejak Pangerannya. Akhirnya tanah di seluruh Pulau Sapudi yang semula gersang, menjadi tanah subur yang bisa ditanami padi. Hasil panenpun berlimpah ruah dan jadilah daerah yang subur makmur.
Dasar Pangeran Ketandur tidak pernah diam, ada saja yang ingin dilakukan untuk memajukan warga masyarakatnya. Setiap hari ia melihat sapi-sapi itu tenaganya hanya dimanfaatkan membajak sawah, sesudahnya berdiam diri dikandangnya. Melihat keadaan itulah, maka Pangeran Ketandur lalu mengajak warga di desanya untuk mengadakan balapan sapi. Areal tanah sawah yang sudah dipanen dimanfaatkan untuk areal balapan sapi. Akhirnya tradisi balapan sapi gagasan Pangeran Ketandur itulah yang hingga kini terus berkembang dan dijaga kelestariannya. Hanya namanya diganti lebih populer dengan “Kerapan Sapi“.

ASAL USUL PULAU MADURA DAN SENJATA PUSAKA BANGKALAN

Diceritakan bahwa Pulau madura ini bermula terlihat oleh pelajar-pelajar pada jaman purbakala sebagai pulau yang terpecah-pecah sehingga merupakan bebrapa puncak-puncak tanah yang tinggi (yang sekarang menjadi puncaknya bukit-bukit di Madura) dan beberapa tanah datar yang rendah apabila air laut surut kelihatan dan apabila air laut pasang tidak kelihatan (ada di bawah air). Puncaknya-puncak yang terlihat iru diantaranya yang sekarang disebut Gunung Geger didaerah Kabupaten Bangkalan dan Pegunungan Pajudan di daerah Kabupaten Sumenep.
Diceritakan bahwa pada jaman purba ada suatu negara yang bernama negara Mendangkawulan yang didalamnya terdapat subuah kraton yang bernama Willing Wesi. Rajanya bernama Sanghiangtunggal. Menurut dugaan orang, Madura dikiranya ada disuatu tempat didekat Gunung Semeru didekat puncakala yang bernama Gunung Bromo. Jaman tersebut kira-kira sekitar tahun 929 Masehi.
Raja tersebut mempunyai seorang putri yang masih gadis. Pada suatu hari, putri tersebut bermimpi kemasukan rembulan dari mulutnya terus masuk ke dalam perutnya dan tidak keluar lagi. Setelah beberapa bulan setelah kejadian itu, putri tesebut menjadi hamil dan tidak ketahuan siapa ayah dari calon bayi tersebut. Beberapa kali ayahnya bertanya tentang sebab musababnya, tapi putrinya sama sekali tidak menjawab karena iapun juga tidak mengetahui apa yang telah terjadi pada dirinya.
Raja tadi amat marah dan memamnggil Patihnya yang bernama Pranggulang. Patih tersebut diperintah untuk membunuh putri tersebut dan membawa kepala putrinya ke hadapan raja tersebut. Apabila Patih tersebut Patih tersebut tidak sanggup memperlihatkan kepala putrinya itu maka Patih tidak diperkenankan menghadap raja dan tidak dianggap lagi sebagai Patih dikerajaannya.
Maka berangkatlah Patih dengan membawa sang Putri keluar dari Kraton menuju hutan rimba. Setelah sampai disuatu tempat didalam hutan belantara, maka Patih menghunus pedangnya dan mulai memegang leher Putri tersebut, akan tetapi hampir pedang tersebut sampai ke lehernya pedang tersebut terjatuh ketanah. Setelah kejadian tersebut sang Patih termenung dan berpikir bahwa hamilnya Putri tersebut tentu bukan dari kesalahannya, tetapi tentu ada hal yang luar biasa dan akhirnya Patih Pranggulang mengalah untuk tidak kembali ke rajanya dan mulai saat itu ia berubah nama menjadi Kijahi polengí (Poleng artinya dalam Bahasa Madura yakni kain tenunan Madura) dan ia merubah pakaian yaitu memakai kain, baju dan ikat kepala dari kain poleng. Ia memotong kayu-kayu untuk dijadikan perahu (oleh orang Madura dinamakan Ghitek atau orang Jawa bilang Getek).
Sebelum Putri tadi diberangkatkan, Kijahi Poleng memberikan beberapa bekal berupa buah-buahan serta berpesan bahwa jika sang Putri memerlukan pertolongannya supaya sang Putri menghentakkan kakinya ketanah sebanyak 3 kali maka seketika itu Kijahi Poleng datang untuk menolongnya.
Putri tersebut oleh Kijahi Poleng didudukkan diatas ghitek itu yang kemudian ditendangnya Ghitek tersebut menuju “Madu Oro” (pojok di ara-ara) artinya pojok menuju ke arah yang luas. Diceritakan bahwa sebab inilah Pulau ini bernama Madura. Ada juga yang mengatakan bahwa nama Madura itu dari perkataan “Lemah Dhuro” artinya tanah yang tidak sesungguhnya yaitu apabila air laut pasang tanahnya tidak kelihatan, apabila air laut surut maka tanah akan kelihatan.
Singkat cerita Ghitek tersebut terdampar di Gunung Geger (disitu asalnya tanah Madura) dan memang menurut Babad-babad apabila ada yang tertulis perkataan tanah Madura, maka yang dimaksudkan adalah Kabupaten Bangkalan juga termasuk Kabupaten Sampang, sedangkan apabila ada yang menyebutkan daerah-daerah disebelah Timur dari daerah-daerah tersebut maka dimaksudkan adalah Kabupaten Sumenep atau Sumekar atau Sumanap dan dituliskannya Pamekasan.
Pada suati ketika perut sang Putri mulai terasa sakit seolah akan menemui ajalnya, disitu ia menghentakkan kakinya ketanah 3 kali guna meminta pertolongan Kijahi Poleng. Maka seketika itu Kijahi Poleng datang dan iapun bila bahwa sang Putri akan segera melahirkan. Tidak lama kemudian lahirlah seorang anak laki-laki yang roman mukanya amat bagus yang kemudian diberi nama “Raden Segoro” (Segoro artinya lautan). Keluarga itu menjadi penduduk pertama di Madura. Setelah itu Kijahi Poleng menghilang lagi, tetapi ia sering datang mengunjungi sang Putri dengan membawa makanan atau buah-buahan.
Diceritakan bahwa perahu-perahu orang dagang yang berlayar dari beberapa kepulauan di Indonesia apabila pada waktu malam hari melalui lautan dekat tempatnya Raden Segoro tersebut, maka mereka melihat cahaya yang terang seolah-olah cahaya rembulan, maka merekaakan berhenti untuk berlabuh ditempat itu (Geger Madura) dan akan membuat selamatan makan minum disitu serta memberi hadiah kepada yang bersahaja itu.
Setelah berumur dua tahun Raden Segoro sering bermain-main di tepi lautan, dan pada suatu hari dari arah lautan datanglah dua ekor naga yang amat besarnya mendekatinya. Dengan ketakutan, maka Raden Segoro berlari sambil menangis dan menceritakan kejadian tersebut kepada ibunya. Merasa khawatir takut anaknya dimakan ular naga tersebut, maka ibunya memanggil Kijahi Poleng. Dan seketika itu Kijahi Poleng datang menemui si Ibu, maka si ibu menceritakan kejadian yang menimpa putranya tersebut. Kemudian kijahi Poleng mengajak Raden Segoro bermain-main di tepi laut. Tidak beberapa lama datanglah dua ekor naga raksasa itu, lalu Kijahi Poleng menyuruh Raden Segoro agar memegang ekor ular dan membantingkannya ke tanah. Raden Segoro menolak permintaan Kijahi Poleng, tetapi karena paksaan tersebut akhirnya Raden Segoro memenuhi permintaa tersebut. Kemusian dipegangnya dua ekor naga raksasa tersebut dan dibantingkannya ke tanah. Seketika itu juga dua ekor ular naga raksasa tersebut burubah menjadi dua bilah tombak. Kedua bilah tombak tersebut kemudian diberikan kepada Kijahi Poleng untuk dibawa menghadap ibunya raden Segoro. Tombak satunya diberi nama “Kijahi (si) Nenggolo” dan satunya diberi nama “Kijahi (si) Aluquro”
Pada usia 7 tahun Raden Segoro pindah dari Gunung Geger ke Desa Nepa. Nama Nepa itu karena disitu banyak sekali pohon Nepa. Pohon nepa auat Bhunyok yaitu pohon sejenis kelapa tapi lebih kecil dan tidak besar seperti halnya pohon kelapa, daunnya dapat dibuat atap tumah, yang masih muda dapat dibuat rokok (seperti Klobot). Desa tersebut letaknya berada di daerah Ketapang Kabupaten Sampang dipantai sebelah Utara (Java Zee) dan hingga sekarang masih banyak keranya.
Pada suatu ketika, Negara Mendangkawulan kedatangan musuh dari Tjina. Didalam peperangan tersebut Raja Mendangkawulan berkali-kali kalah sehingga rakyatnya hampir habis dibunuh oleh musuh. Didalam keadaan bingung dan susah tersebut, suatu malam Raja Mendangkawulan bermimpi bertemu dengan orang tua yang berkata bahwa di sebelah pojok Barat Daya dari Kraton tersebut ada Pulau bernama Madu Oro (Lemah Dhuro) atau Madura. Disitu berdiam seorang anak muda bernama Raden Segoro. Raja disuruhnya untuk meminta pertolongan kepada Raden Segoro apabila ingin memenangkan peperangan.
Keesokan harinya Raja memerintahkan Pepatihnya supaya membawa beberapa prajurit ke Madura sesuai dengan Mimpinya tersebut. Sesampianya di Madura, Pepatih langsung menemui Raden Segoro dan menceritakan tentang kejadian yang menimpa kerajaannya serta meminta pertolongan Raden Segoro untuk membantunya. Dan juga meminta ijin kepada ibunya agar ibunya mengijinkan putranya untuk membantunya. Si ibu memanggil Kijahi poleng untuk mendampingi Raden Segoro guna membantu peperangan raja itu dari serangan musuh (Tjina). Kemudian berangkatlah Raden Segoro, Kijahi Poleng serta Pepatih dan prajuritnya menuju Kraton Mendangkawulan dengan membawa pusaka tombak Kijahi Nenggolo.
Kijahi Poleng ikut serta akan tetapi tidak kelihatan oleh yang lain kecuali Raden Segoro. Dan sesampainya di negara tersebut, Raden Segoro langsung berperang dengan tentara Tjina dengan didampingi oleh Kijahi Poleng. Pusaka Kijahi Nenggolo hanya ditujukan kearah tempat sarang-sarang musuh maka banyak musuh yang mati karena mendadak menderita sakit dan tidak lama kemudian semua musuh lari meninggalkan negara Mendangkawulan.
Raja Mendangkawulan mengadakan pesta besar untuk merayakan kemenangan perang dan memberi penghormatan besar kepada Raden Segoro serta memberi gelar “Raden Segoro alias Tumenggung Gemet” yang artinya semua musuh apabila bertarung dengannya maka akan habis (Gemet = Bahasa Djawa)
Raden Segoro berhajat untuk mengambil anak mantu kepada Tumenggung Gemet dan menghantarkan dia (suruhan Pepatih dan tentara kehormatan) dengan disertai surat terima kasih kepada ibunya. Raja menanyakan siapa ayahnya, maka Raden Segoro akan menanyakan kepada ibunya nanti. Kemudian Raden Segoro mohon ijin kepada Raja Mendangkawulan untuk kembali ke Madura.
Setelah sampai, maka Raden Segoro kembali menanyakan perihal ayahnya kepada ibunya. Ibunya merasa kebingungan dan menjawabnya bahwa ayahnya adalah seorang siluman. Maka seketika itu pula lenyaplah ibu dan anaknya serta rumahnya yang disebut kengan sebutan Kraton Nepa.
Demikian riwayat asal usul tanah Madura, yang oleh orang tua-tua dikesankan bahwa Raden Segoro telah membalas hutang-hutangnya yang menghinakan ibunya dengan pembalasan yang baik yaitu menolong didalam peperangan.
Diceritakan pula bahwa dikemudian hari Kijahi Nenggolo dan Kijahi Aluquro oleh Raden Segoro diberikan kepada Pangeran Demong Plakaran (Kijahi Demong) Bupati Arosbaya (Bangkalan). Dan mulai saat itu kedua bilah tombak tersebut (Kijahi Nenggolo dan Kijahi Aluquro) menjadi Senjata pusaka Bangkalan.
Dikutip dari :
Sejarah Tjaranya Pemerintahan Daerah di Kepulauan Madura Dengan Hubungannya
Oleh:
R. Zainal Fattah (R. Tumenggung Ario Notoadikusumo (Bupati Pamekasan)