Bagi H Mustofa Marhaji, modal ratusan juta yang dibutuhkan tidak akan diperoleh tanpa kejujuran. Untuk memenuhi kebutuhan modal, dia harus meminjam uang kepada konglomerat di lingkungannya. Meski harus berhadapan dengan resiko rugi, dia bertekad memertahankan kejujurannya.
---------
MODAL pertama dari dulu sampai sekarang yang saya punya cuma jujur. Jadi, banyak teman, banyak kolega, banyak orang percaya karena saya tidak pernah ingkar janji. Kalimat itulah yang menjadi kunci sukses H Mustofa selama menggeluti usaha berdagang besi tua.
Menurutnya, untung rugi dalam usaha merupakan hal biasa. Jika dilakukan sungguh-sungguh, semua usaha akan mendatangkan keuntungan. Meski rugi secara finansial, yang terpenting semangat untuk kembali berusaha terus tumbuh. Sehingga, kerugian yang ditanggung akan menjadi pelajaran agar tidak terulang kembali.
"Saya ini bukan tidak pernah rugi, Mas. Dulu pernah rugi puluhan juta saat saya scraping (memotong, Red) kapal selam," ungkapnya. Padahal, lanjut Mustofa, uang yang dijadikan modal membeli kapal selam didapatkan dari hasil pinjaman.
Meski menanggung kerugian, dia tetap membayar hutangnya sesuai dengan waktu perjanjian. "Untung atau rugi, hutang harus tetap dibayar," tandasnya. Sejak menerapkan kejujuran dalam usahanya, dia mengaku tak pernah mengalami kegagalan keuangan teramat parah.
Kini, untuk urusan usahanya, dia dibantu dua anaknya. Putra pertama membantu mengawasi proses pemotongan kapal. Sementara, urusan keuangan dia dibantu putrinya, Lilik Mustofa yang telah menyandang gelar sarjana hukum.
Disamping itu, Mustofa juga mendirikan kantor di Sepanjang, Sidoarjo. "Kantor di Sepanjang itu untuk transaksi besar. Baik dengan pabrik maupun penjualan ukuran besar," jelasnya.
Dia mengungkapkan, dalam kesehariannya dia memang keras menghadapi orang lain menjadi mitra bisnisnya. "Saya memang agak kasar sama orang. Tapi, itulah saya yang tampil apa adanya. Saya memang bodoh dan buta huruf, tapi untuk urusan ini (besi tua, Red) saya banyak pengalaman. Jadi harus tegas," tutur ketua ASPEBI ini. (nra/tra)
KEBERHASILAN di tanah rantau tidak bisa dicapai hanya bermodal nekat. Sebab, keberhasilan tidak datang sendiri tanpa interaksi dan kerjasama dengan orang lain. Hubungan baik akan selalu terjaga jika antar individu yang bekerjasama tidak saling mengelabui.
Hal tersebut disampaikan H Mustofa. Nama tersebut oleh masyarakat sekitar rumah diberi tambahan Marhaji. Menurut si empunya, pemberian tambahan nama oleh masyarakat tersebut bermaksud untuk membedakan antara H Mustofa Imron yang tempat tinggalnya tak jauh darinya.
Selama ini, Mustofa dikenal sebagai pribadi jujur di kalangan pengusaha besi tua. Demikian juga kalangan konglomerat Surabaya sebagai pemilik modal besar yang kerap menjadi jujugan meminjam modal.
Sehingga, tidak heran jika Mustofa kini menjadi juragan besi tua dipercaya menjadi Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Besi Tua Indonesia (ASPEBI) hingga sekarang. Selain itu, dia salahsatu pengusaha besi tua yang diberi kepercayaan menjadi supplier di beberapa pabrik besi Indonesia.
Ketika wartawan koran ini mewawancarai, Mustofa sedang asyik bercengkrama dengan beberapa warga di sebelah rumahnya. Karena belum mengetahui kedatangan koran ini, dia terus ngobrol dan memanggil penjual kue keliling. Dia beli, lalu memersilahkan kawan-kawannya menikmati kue-kue itu.
Masuk ke kediamannya di Jalan Sidorame 30 Surabaya, terlihat beberapa mobil kinclong dan beberapa motor di parkir rapi. Salah seorang putrinya, Lilik Mustofa memersilahkan masuk dan duduk di ruangan tempat Musatafa biasa menerima tamu.
"Tunggu sebentar, Mas. Sebentar lagi bapak pasti datang. Dia sedang keliling ke tetangga," katanya. Tak lama menunggu, pria yang dilahirkan di kecamatan Modung, Bangkalan ini datang. Diapun antusias menceritakan pengalamannya sejak berdomisili di Sidorame.
"Waktu itu umur saya masih 16 tahun. Karena orang tua tidak punya biaya untuk menyekolahkan saya, ahirnya saya putuskan pindah ke Surabaya. Modalnya nekat," ungkapnya.
Karena tempat tinggalnya di Modung, terpaksa menyeberang laut dari pelabuhan nelayan di Kwanyar. Menumpang perahu layar milik salahseorang nelayan, Mustofa muda sampai di Kenjeran Surabaya. "Untuk sampai ke darat, saya harus berjalan beberapa ratus meter dengan air laut setinggi dada," kenangnya.
Ketika menapakkan kakinya di Kenjeran, Mustofa berjalan beberapa kilometer untuk sampai di kampung Sidorame. Di situ dia tidak memiliki sanak keluarga atau seseorang yang dikenal. Dia hanya tahu bahwa di Sidorame adalah tempat berkumpulnya para pendatang dari Madura dan hidup berdagang.
"Saya tidur di mushala sekitar sini. Waktu itu sekitar tahun 1968," tuturnya. Mustofapun mulai berkenalan dengan pendatang dari Madura. Kemudian dia bergabung menjadi salahsatu makelar besi dan kuningan.
Selain itu, dia rajin mengumpulkan besi-besi ringan. Seperti kaleng bekas dan sisa-sisa besi potongan kapal. Setelah terkumpul, dia menjualnya kepada pembeli besar di sekitar dia gubuknya.
Dua tahun berusaha dan hidup di Surabaya, Mustofa menemukan jodoh asal Madura. Kegigihan usaha pasangan dari Madura ini membuat usahanya semakin pesat. "Pada 1979 , saya dan istri bisa punya rumah dan pergi haji," ujarnya bangga.
Usai menunaikan ibadah haji, rejeki yang datang kepada keluarga muda ini terus mengalir. Memasuki 1982, Mustofa mendapatkan tawaran membeli kapal besar. Itu menjadi pengalaman pertama memotong kapal untuk dijual besi tuanya. "Waktu itu saya pinjam modal. Alhamdulillah, hasilnya bisa untuk menambah tabungan," tandasnya.
Dari pengalaman pertama, Mustofa mulai memelajari siapa dan bagaimana orang yang menjalin kerja sama dengannya. Yang selalu dia tekankan adalah kejujuran dalam berbisnis. Meski rugi, utang tetap harus dibayar sesuai perjanjian. Sekali janji meleset, sampai kapanpun sulit memeroleh kembali kepercayaan yang diberikan orang lain. (nra/tra)